Senin, 23 Oktober 2017

RASHOMON: Runtuhnya Kemegahan Peradaban Manusia

Rashomon menjadi salah satu lakon asing populer di dunia pertunjukan teater Indonesia. Jumlah angka yang besar mungkin akan muncul jika ada yang menghitung berapa kelompok teater pernah mementaskan naskah karya Ryunosuke Akutagawa ini. Naskah ini tentu saja memang memiliki daya tarik tersendiri. Bahkan sutradara film sekelas Akira Kurosawa pun mengangkatnya ke layar lebar. Meskipun tentu saja, ada pertimbangan tertentu bagi Kurosawa ketika ia membawa Rashomon ke layar lebar pada tahun 1950. Kurosawa mungkin melihat pergulatan Ryunosuke dalam karya ini juga menjadi pergulatannya sebagai sama-sama orang Jepang (meskipun mereka lahir dalam selisih 8 tahun).

Rashomon (2014) oleh The Jing-Ju Opera Troupe of National Taiwan College of Performing Arts
Ryunosuke memotret krisis kemanusiaan yang terjadi di tengah bangsanya (Jepang) lewat Rashomon dan In a Grove. Dua cerpen inilah yang kemudian menjadi naskah drama berjudul Rashomon. Naskah Rashomon yang diterjemahkan oleh Djohan A. Nasution paling banyak digunakan oleh berbagai kelompok teater di Indonesia. Djohan sendiri mementaskan lakon terjemahan itu di Taman Ismail Marzuki tahun 1970. Ia mengusung lakon itu bersama aktor-aktor yang tergabung dalam TENA (Teater Nasional Medan). Djohan dalam pengantar naskah juga menyebutkan bahwa ia menuliskan lakon itu berdasar dua cerpen Ryunosuke Akutagawa, yaitu Rashomon dan Pepohonan (In a Grove atau Yabu no Naka).

Rashomon terletak di Kota Kyoto saat ini. Bangunan ini adalah gerbang kota yang dibangun dengan megah selama Periode Heian (749-1185). Bangunan itu dibangun tahun 789 ini memiliki lebar 32 meter dan tinggi 7,7 m dan sebuah tembok batu setinggi 23 meter yang di atasnya terdapat tiang menjulang. Periode Heian adalah masa ketika Buddhisme, Taoism dan pengaruh Cina mencapai puncaknya. Periode ini dianggap sebagai puncak kejayan kekaisaran Jepang dan banyak memunculkan karya-karya seni khususnya puisi dan sastra. Pada masa itu juga terjadi pemberontakan di Cina dalam beberapa tahun terakhir pada abad ke-9. Hal ini membuat situasi politik tidak stabil dan menyebabkan gelombang perdagangan ke Cina berhenti. Tapi situasi ini memberi andil bagi  kemandirian bangsa Jepang yang juga mempengaruhi kebudayaannnya. Pintu gerbang Rashomon agaknya menjadi penanda kejayaan periode itu sebelum kemudian bangunan itu runtuh pada abad ke-12. Konon, setelah itu Rashomon mempunyai reputasi sebagai tempat persembunyian pencuri dan orang-orang bertingkah laku buruk. Orang-orang juga membuang mayat dan bayi tidak diinginkan di gerbang tersebut.

Nama gerbang yang hancur itulah yang menjadi setting utama bagi cerpen berjudul Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa. Judul yang sama diambil oleh sutradara  film legendaris asal Jepang untuk karyanya. Akira Kurosawa membuat film berjudul Rashomon pada tahun 1950. Akutagawa bukan menceritakan kemegahan gerbang Rashomon sebaliknya ia membawa kisah tentang kemerosotan nilai kemanusiaan pasca keruntuhan gerbang itu. Rashomon menjadi tempat yang angker apalagi jika merujuk pada legenda rakyat Jepang yang menyebutkan bahwa gerbang itu adalah kediaman Ibaraki Doji (setan atau raksasa yang memiliki gigi sejak lahir) yang membawa kerusakan lingkungan.

Rashomon (2005) oleh Pittsburgh Repertory Theatre, USA
Kini, bahkan satu batu pondasi pun tidak tersisa di tempat yang dipercayai sebagai situs di mana Rashomon pernah berdiri. Orang hanya melihat sebuah pilar batu penanda tempat itu di mana pintu gerbang itu  pernah berdiri di sana. Penanda itu terletak di Timur Laut di mana terdapat  persilangan yang mempertemukan Jalan Kujo dan Jalan Senton atau Jalan Raya Senbon. Orang hanya bisa melihat sebuah tanda dari kayu ditulis dalam Bahasa Inggris dan Jepang menerangkan sejarah pintu gerbang itu. Situs tersebut berada di belakang toko tidak terkenal di Jalan Kujo dan terletak sangat dekat dengan playground  kecil. Meskipun ada halte bis terdekat bernama Rajomon, mereka yang tidak mengenal daerah itu tidak akan menemukan situs Rashomon. (ye)

Selasa, 12 September 2017

DALANG KENTRUNG RATI DAN LAKON SARAHWULAN


Lakon Sarahwulan memiliki kemiripan dengan kisah Joharmanik. Saripan Hadi Sutomo merekam kembali perbandingan perbedaan kedua lakon itu dalam buku Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Sarahwulan menjadi cerita yang dikenal masyarakat lewat bentuk seni teater tutur, kentrung. Dalang yang memiliki kekhususan menyampaikan cerita itu adalah Rati. Tidak ada dalang kentrung lain di luar Tuban yang menyajikan lakon Sarahwulan. Sebaliknya, beberapa dalang kentrung tersebut meembawakan lakon Joharmanik.
Rati sebagai dalang perempuan menyukai membawakan lakon tentang perempuan: Sarahwulan. Di sisi lain, masyarakat Tuban pada masanya juga menyukai lakon itu. Konon, Sarahwulan berangkat dari cerita dalam wayang gedhog. Saripan Hadi Sutomo mencatat bahwa lakon Sarahwulan termasuk cerita pakem dari Wayang Gedhog karya Pangeran Adi Wijaya IV dari Surakarta. Jenis wayanag yang kabarnya diciptakan oleh Sunan Giri ini biasanya menyajikan cerita panji  
Rati menjalani hampir seluruh hidupnya sebagai dalang kentrung. Sebagaimana bentuk seni tradisi umumnya, kehadirannya sebagai dalang kentrung karena faktor warisan keluarga. Rati lahir dari sebuah keluarga dalang kentrung. Neneknya, Nyi Basiman adalah dalang kentrung perempuan kondang. Sejak kecil, Rati melihat dan mendengar bagaimana nenek dan anak-anak perempuannya (termasuk, Sukilah, ibu Ratri) terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar kentrung. Hingga pada saatnya, Ratri tampil sebagai pewaris ke-5 dari keluarga dalang kentrung tersebut.
Rati, dalang kentrung asal Desa Bate, Bangilan, Kabupaten Tuban terhitung cukup panjang umur menjadi dalang kentrung. Sebagian orang berkata bahwa Rati mencapai usia seabad, sebelum dalang perempuan ini meninggal dunia pada 30 Juni 2014. Setelah itu, tidak ada dalang kentrung perempuan muncul dari keluarga ini. Apakah kemandegan ini karena generasi di bawah Rati tidak ada yang tertarik mempelajari kentrung? Atau apakah adanya syarat bahwa penerus dalang kentrung harus perempuan? Hal ini mengingat bahwa pemegang mandat tradisi ini adalah perempuan mulai dari Nyi Basiman hingga Rati.
sumber: http://penyuluhbudayabojonegoro.blogspot.co.id/2014/06/
Perempuan agaknya memang punya peran penting dalam sejarah kentrung di Tuban ini. Bukan kebetulan, Desa Bate memiliki kisah asal-usul nama desa yang menokohkan perempuan. Joyo Juwoto, penulis asal Tuban menuturkan bahwa Bate berasal dari nama perempuan Cina bernama Bah Tei. Pedagang jamu ini bersedia dipersunting oleh Mluyo Kusumo, seorang pemimpin berandal di sebuah desa. Bah Tei menyaksikan bagaimana Mluyo Kusumo berhasil mengusir gerombolan perampok dan pencuri yang menyerang desa itu. Bah Tei menganggap bahwa Mluyo Kusumo adalah suami sekaligus pelindungnya. Tetapi saat pesta pernikahan Mluyo Kusumo dan Bah Tei berlangsung, gerombolan itu datang mencuri pusaka andalan desa itu. Sejak itu, desa itu tidak aman karena gerombolan itu selalu menyerang desa tempat Mluyo Kusumo. Bah Tei merasa tidak aman dan ketakutan. Ia memutuskan pergi dari desa itu. Mluyo Kusumo gundah gulana setelah istrinya meninggalkannya. Pemimpin berandal itu mengabadikan nama istrinya sebagai nama desa itu:Bate. 
Kisah Sarahwulan turut surut dalam pelukan Rati di Desa Bate. Ketiganya menjadi sebuah rangkaian tersendiri kisah tentang perempuan. Mereka bisa muncul sebagai kisah baru dan mungkin dengan penceritaan yang baru. Nama-nama itu membawa pencerita dan pendengarnya menjelajah ruang-ruang yang lain. (ye)

Selasa, 15 Agustus 2017

TEHNOLOGI DIGITAL DAN IMAJINASI SENI TEATER


Tehnologi digital menjadi hal dalam dunia seni teater. Sebagai hal baru maka dia selalu menggelisahkan, baik dalam pengertian ancaman maupun keuntungan. Apalagi kemajuan tehnologi berkaitan audio-visual melaju seolah tanpa kendali. Penemuan-penemuan baru dan lebih ringkas dalam soal editing misalnya semakin mudah diperoleh (diunduh). Di sisi lain, harga software dan hardware semakin terjangkau kalau tak boleh dikatakan murah. Keadaan ini sudah dan semakin mengalir ke wilayah kegiatan teater. Beberapa karya pertunjukan teater mulai membutuhkan kehadiran kecanggihan tehnologi audio-visual terkini. Kritikus teater di Barat menyebut hal baru ini sebagai technodrama atau mixed reality.
sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/1c/61/4a/1c614aceea3c62b4c8cd812b5b0fceb0--d-video-projection-mapping.jpg
Perancang video (video designer) menjadi profesi baru yang akan terpampang di credit title atau susunan pelaku produksi di undangan dan pamflet pertunjukan. Video designer ini rata-rata didominasi oleh mereka yang dikategorikan sebagai generasi millineal (kelahiran 1980an s.d. 1999). Mereka lahir di sebuah habitat digital yang menuntut penguasaan tehnologi informasi di dalamnya.
Para kritikus Barat menyebut karya-karya produksi teater yang didukung kekuatan tehnologi semacam itu disebut technodrama. Penonton tidak hanya disuguhi kepiawaian para aktor, tetapi mereka juga melihat gambar-gambar 3D di atas panggung pertunjukkan. Tubuh-tubuh dan dinding gedung pertunjukan menjadi ruang tembak proyektor. Tampilan visual itu juga didukung penataan suara yang menciptakan kesan “surround.”  
Timothy Bird, seorang perancang video asal London membanggakan karyanya dengan berkata, “kualitas gambar 3D yang diproyeksikan tanpa mengharuskan penonton menggunakan kaca mata khusus.” Karya-karya 2D-nya juga bisa dilakukan dengan cara diproyeksikan pada set-set panggung berbagai bentuk, tidak hanya pada bidang datar seperti biasanya.” 
Karya-karya video designer itu juga disebut video mapping.  Banyak orang (muda) memang sedang gemar dan tergoda merambah media baru tersebut. Seperti Bird sendiri direwangi pindah dari dunia televisi ke teater karena ia merasa memiliki ruang bermain dengan media ini di teater. Atau William Dudley meninggalkan suasana kerja tradisional sebagai penata panggung untuk beralih ke digital.  Penata panggung dari AS ini menggunakan proyeksi video pertamanya pada 2002 di National Theatre AS.
sumber: https://troikatronix.com/wp-content/uploads/2016/09/witlen-interview-1-1560x920.jpg
Kehadiran tehnologi baru itu bukannya bebas kritik. Kritikus teater, Matt Wolf menyadari bahwa tehnologi baru itu pasti memiliki tujuan di tengah jaman ini. Di mana ketidakaturan dan keruwetan hidup sekadang menurunkan tingkat perhatian orang.  Tetapi kritikus International Herald and Tribune itu juga memperingatkan bahwa tehnologi juga bisa menjadi layanan untuk menggeser kekuatan imajinasi.
Sutradara memiliki peran besar mengendalikan sebelum semua yang terjadi di atas panggung. Sutradara masa kini perlu memahami tehnologi sedemikian rupa sehingga dia tidak tenggelam apa yang ia kerjakan. Keterpukauan pada tehnologi bisa membawa diri sutradara kalut hanyut membuat semua adonannya dalam “loyang tehnologi.” Dia bisa gagal memilah bagian-bagian mana yang butuh artikulasi “darah daging” dan “tehnologi.” Timothy Bird memberi pendapat soal ini, yaitu jika sutradara hanya sekedar meletakkan tehnologi dalam produksinya, maka hal itu menjadi sebuah gimmick palsu. Penggunaan trick harus demi menjaga tetap hidup apa saja yang ada di atas panggung termasuk elemen manusia di dalamnya.
Sebagian sutradara konvesional mungkin masih semacam “alergi” pada tehnologi. Perasaan itu bisa disebabkan mereka tidak menguasai atau tidak memiliki selera menggunakan kecanggihan tenhnologi semacam itu. Tetapi sebenarnya bentuk-bentuk pertunjukan klasik atau tradisional sudah bergaul erat dengan tehnologi. Ketoprak-ketoprak pesisir Utara Jawa sudah memfaatkan tehnologi-tehnologi pemanggungan, semacam tehnik terbang dan lain sebagainya. Bondan Nusantara menyebutkan bahwa panggung ketoprak sudah menggunakan pencahayaan dramatis tahun 1930an. Lampu petromak ditambahi oleh kertas berwarna-warni untuk menimbulkan berbagai efek dramatis. Saat ini, Ki Asep Aceng Amung Sutarya memanfaatkan animasi untuk mendukung pertunjukan wayang goleknya.  Dalang ini membutuhkan tehnologi supaya wayang golek memiliki daya tarik terutama pada anak muda.
“Saya berupaya untuk membuat teater seajaib film,” kata Dudley suatu kali. Kontan saja pendapat itu menuai reaksi. Sebagian orang mengatakan bahwa bagaimanapun keunikan dan keajaiban yang dihasilkan oleh pita siluloid tak bisa tergantikan. Selain itu semua yang tersajikan lengkap di atas panggung dengan kekuatan tehnologi sepenuhnya berpotensi mengeringkan ruang imajinasi penonton. Dengan demikian technodrama atau mixed reality hanya menjadi sebuah tontonan spektakuler belaka.

Sumber: http://www.bbc.com/news/technology-17079364

Kamis, 27 Juli 2017

NONTON KENTRUNG DI TULUNGAGUNG


Rekor penonton seni kentrung pecah tahun 2008, saat Mochammad Samsuri manggung tunggal di pentas Demak Art Festival di Tembiring, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Ketika itu ribuan penonton asyik menyimak gaya Samsuri bertutur tentang Syaridin alias Sheikh Jangkung. Alkisah, Sheikh Jangkung lahir di Desa Landoh, Tayu, Pati. Sheikh Jangkung diperkirakan hidup semasa Sunan Muria atau Raden Umar Said menjadi penyebar agama Islam. Dia punya karomah yang disegani pada zamannya. Dia menyebarkan Islam hingga ke Sumatera. (Kompas.com - 04/09/2009)

Petikan berita itu mungkin menggambarkan sisa-sisa kejayaan seni teater tutur tradisional itu. Kentrung memang sarat muatan ajaran agama dan moral, tetapi penampilannya kian tampak “lawas” disandingkan bentuk-bentuk tontonan masa kini. Sebagaimana penampilan Samsuri sendiri setiap kali hadir di hadapan penonton. Pria kelahiran Bintoro, Demak, Jawa Tengah tahun 1949 ini menggunakan reban warisan sang ayah setiap kali manggung. Bunyi rebana-rebana itu tak lagi sebagus seperti bertahun-tahun lalu karena alat musik itu sudah rusak. Tiga jenis rebana (terbang), yaitu ketipung (kecil), kemplang (sedang) dan jedur (besar) memang sudah kelihatan menua.

Begitulah nasib kentrung sekarang. Tidak hanya di Demak,  daerah-daerah Pantai Utara lain di mana menjadi tempat penyebaran kentrung mengalami nasib sama. Baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, Jika masih ada seni kentrung di daerah-daerah, seperti Demak, Blora, Kudus, Blitar, Tulungagung, maka dipastikan para pendukungnya rata-rata sudah sepuh. Tetapi beruntung ada sedikit anak-anak muda (mungkin generasi millennial yang didukung generasi X hehehe) masih mencoba setia ngentrung dan mereka juga bikin acara untuk itu bulan Agustus 2017 ini.

Sejumlah anak muda yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Blero  Universitas Negeri Malang dan  Sanggar Seni Kentrung Gedhang Godhog Tulungagung menggelar serangkaian acara bertajuk “Kampung Seni Ngingas 1” pada tanggal 5 Agustus 2017.  Dua kelompok seni pertunjukan yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa tersebut memang menggeluti seni kentrung selama ini. 

Kontak info: FB: Yayak Gedhang Priasmara; IG: y_priasmara

Selasa, 25 Juli 2017

TEATER SMA DAN PENTAS DRAMA "NGEDHUR" 24 JAM

sumber: http://performingarts.reviews/wp-content/uploads/2015/12/Charlie-Brown-11.jpg
Menandai sekaligus merayakan kesenian dengan melakukan aktifitas ngedhur alias non-stop bukan asing kita dengar.  Paling tidak kita akrab dengan Hari Tari Dunia yang dirayakan dengan 24 jam menari di mana-mana. Saya tidak pernah membayangkan untuk teater hingga, ada kabar dari anak-anak SMA Crater, Oregon, AS. Mereka  melakukan hal menarik berkait dengan kegiatan ekstrakurikuler drama di sekolah mereka. Mereka menciptakan peristiwa teater yang cukup spektakuler untuk ukuran anak SMA (mungkin juga bagi kita “alumni” SMA yang ada di sini). Anak-anak yang tergabung dalam kegiatan drama sekolah melakukan proses hingga pertunjukan sebuah karya lakon dalam waktu 24 jam.
sumber: http://jacksonvillereview.com/wp-content/uploads/2016/01/7-Plays-24-Hours-Final4.jpg
Kegiatan tersebut mulai pukul 8 malam hari Jumat, 5 Februari 2016 hingga layar dibuka pada pementasan pada pukul 8 malam hari Sabtu, 6 Februari 2016 di Crater Performing Arts Center. Mereka terdiri dari 10 penulis, 27 aktor, dan 7 sutradara.  Anak-anak SMA tersebut bekerja sepanjang malam menggarap 7 gagasan pertunjukan teater.  Masing-masing lakon itu terdiri dari satu babak dan keseluruhannya disusun, ditulis, dimainkan dan diproduksi oleh anak-anak SMA Crater dalam waktu 24 jam.
Pengamat seni pertunjukan teater Lee Greene mengaku bahwa hasil 7 pertunjukan tersebut sangat menarik dan menghibur dan lumayan nyleneh (eksentrik). Ia melihat dan merasakan bahwa gagasan kreatif itu hadir dari anak-anak SMA yang berani membebaskan dan melepaskan imajinasi mereka berjalan liar. Sebuah situasi yang bisa jadi juga dipicu oleh perpaduan keadaan kurang tidur dan dikejar batas waktu menuju pementasan pukul 8 malam hari Sabtu. Mereka harus tampil,baik siap atau tidak siap!
Uniknya lagi, untuk pertunjukan ke-8 (selain 7 garapan anak-anak) ternyata digagas oleh si kepala sekolah yang bernama Bob King. Sedangkan sosok yang mengerjakan dan mengelaborasi gagasan tersebut adalah guru drama bernama, Matthew Reynolds. Ia bertindak sebagai sutradara pertunjukan ke-8 itu. Sehingga setelah ke-7 pertunjukan karya anak-anak SMA itu selesai, maka ke-7 sutradara pertunjukan tersebut berganti peran sebagai aktor. Mereka bermain untuk pertunjukan ke-8 yang disutradarai oleh Reynolds. Lee Greene menambahkan bahwa apa yang dikerjakan oleh anak-anak SMA Crater ini adalah sebuah karya teater orisinil yang menghibur. Ia sangat mengapresiasi peristiwa pertunjukan tersebut.
Saya tidak tahu apakah teman-teman teater bakal tergoda melakukan hal serupa pada Hari Teater Dunia kelak atau pada perayaan teater lain. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Kegiatan ngedhur semacam ini memang cuma dilakukan di bidang kesenian saja. Beberapa sayembara misalnya untuk mendapatkan mobil juga memakai pola serupa. Tetapi jika teater mengambil pola ini ngedhur berkarya macam ini, tidak masalah. Asal jelas konsepnya, apakah untuk sensasi, hiburan, atau pencapaian artitistik lain. 

Kamis, 13 Juli 2017

CHARLIE CHAPLIN, MR. BEAN DAN PANTOMIM

source: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/10/Chaplin_Karno_advert.jpg/220px-Chaplin_Karno_advert.jpg
Fred Karno adalah nama panggung. Nama “Karno” di sini bukan nama Jawa dan saya tidak punya catatan gimana nama itu dipakai. Nama asli Fred Karno adalah Frederick John Westcott, kelahiran Inggris, 26 Maret 1866. Dia adalah komedi slapstick yang popular pada jamannya. Dia kondang dengan ciri dagelan “ndublag roti (pai) pada lawan main”. Pada tahun 1890an, Karno membuat pertunjukan komedi sketsa tanpa dialog. Itu semua demi menghindari sensor panggung (cukup menarik bahwa waktu ada badan sensor pertunjukan panggung). Karno ini masuk sebagai tokoh dalam sejarah film komedi bisu. Bahkan orang Hollywood menyebutnya sebagai pelopor film komedi bisu. Sutradara Hal Roach menyebut bahwa Karno ini adalah orang yang melahirkan bentuk komedi slapstick. Selain itu, kebesaran Charlie Chaplin juga tidak bisa lepas dari peran Karno.  
Charlie Chaplin bergabung dengan kelompok pantomime milik Karno ini pada tahun 1908.  Aktor kelahiran London, 16 April 1889 ini menjadi salah satu bintang dalam lakon sketsa komedi dalam lakon A Night in an English Music Hall. Bareng dengan rombongan Karno inilah ia merasakan ngidak lemah Amerika Serikat pertama kalinya. Di negeri Paman Sam ini, Chaplin memulai karir di film dengan kontrak pertama sebesar $150 per minggu (kira-kira rong juta rupiah).
Orang Hollywood bisa menyebut Karno membidani komedi slapstick comedy, tetapi bekas cantriknya si Chaplin mendapat julukan master of slapstick comedy. Karno sempat juga sempat ngicipi dunia film di Amerika, tetapi  tahun 1936, ia memilih pulang kampung dan berteater kembali di Inggris. Sedangkan, Chaplin bablas mereguk nikmat dunia film di Amerika. Ia lebih memilih film ketimbang panggung. Dilalah industri film Amerika sedang giat-giatnya bikin banyak produksi. Chaplin menemukan “panggung” barunya, yaitu film.
source: https://media1.britannica.com/eb-media/76/133576-004-E4A6615A.jpg
Setelah Chaplin, belakangan muncul Rowan Atkinson. Komedian asal Inggris ini kondang lewat karakter uniknya, yaitu Mr. Bean. Sebelumnya, Rowan adalah pengasuh sebuah acara radio yang seratus persen menggunakan cangkem dan swara! (bisa dibayangkan bagaimana sekarang, ia total tidak nyangkem dan hanya ngobahake awak).
Gaya dagelan dua komedian asal Inggris ini mampu menjangkau publik yang luas. Selain karena dukungan tehnologi media (televisi dan film), mereka menggunakan bahasa yang universal: tubuh. Bahasa yang mereka gunakan melintasi batas pengguna bahasa apapun.  Chaplin dan Rowan mempengaruhi industri hiburan di manapun, bahkan bagi pertunjukan yang “non-industri’ seperti pantomim. 

Senin, 19 Juni 2017

STILISASI DALAM SENI TEATER

Source: https://archive.org/stream/theatrearts01newyuoft#page/n59/mode/2up

Istilah “stilisasi” sering ditemukan dalam buku-buku dan berbagai esai tentang teater, tetapi belum ada definisi pasti untuk menentukan makna kata itu. Alasannya mungkin adalah masalah stilisasi selalu berhubungan dengan visi dan wilayah kreatif individu si seniman.
Stilisasi dalam teater bisa disamakan dengan “style” dalam karya sastra, atau “interpretasi” dalam musik. Ini adalah ciri pribadi yang unik dan khusus dari seorang sutradara dalam memprduksi sebuah lakon yang berbeda dengan cara sutradara lain.
Ketika istilah stilisasi digunakan di AS, maka istilah tersebut biasanya sebatas pada penggambaran setting. Ini menjadi sebuah pembatasan kata yang tidak beralasan dan tidak menguntungkan. Stilisasi seyogyanya menyatakan sebuah kesatuan, keseluruhan mood atau nada yang direngkuh, yang berjalan melalui setiap bagian tahapan kerja sutradara. Stilisasi mengikat lakon, acting, pemanggungan dalam satu atmosfer, dan menghadirkan sebuah kesan. dari pengertian stilisasi semacam ini muncul perbedaan kualitas dari sudut pandang produksi teater, yaitu teater komersial kebanyakan atau produksi amatir. Hal itu juga menjadi ukuran visi artistik di mana produser memaknai sebuah lakon secara mendalam dan mereflesikan melalui acting, lighting dan setting.
Sayang sekali kualitas sebuah lakon yang distilisasi sekadang berlalu begitu bersama usainya pertunjukan. Kecuali lensa kamera bisa mengabadikan beberapa bagian seperti bentuk setting atau permainan kelompok. Sebuah contoh bagus dari stilisasi ini terdapat pada illustrasi yang ditampilkan pada di halaman ini. Gambar ini indah dan unik karena ini menunjukkan bagaimana seorang sutradara mengambil mood kemegahan sekaligus kesederhanaan dari lakon Macbeth karya Shakespeare.  

(Dicuplik dari artikel di Theater Arts Magazine, Volume 1 Nomor, tanaggal  2 Februari 1917)

Senin, 05 Juni 2017

TENTANG PERTUNJUKAN DRAMA MONOLOG (2)

foto: https://static1.squarespace.com/static/52797371e4b0f7d3b5b349c7/533d73aee4b056226a54013c/533d73d0e4b056226a54015c/1430291220900/HAMLET-amonoologue-021.jpg
Monolog adalah penyampaian kata-kata atau kalimat yang panjang (boleh juga disebut pidato)  yang disampaikan oleh satu tokoh kepada tokoh lain atau penonton dalam suatu naskah. Nah, kalau soliloqi adalah sebuah omongan panjang yang disampaikan oleh seorang tokoh kepada diri sendiri.

Monolog memiliki tujuan untuk didengarkan oleh lawan bicara namun soliloqi tidak demikian dengan. Soliloqi juga bisa disebut sebagai sebuah bentuk monolog. Monolog bisa muncul Pada sebuah lakon drama dan kalimat-kalimat sebagaimana berasal dari naskah ditujukaan  bagi sejumlah penonton atau tokoh lain. Dan sekali lagi, soliloqi tidak memiliki maksud untuk didengaar oleh tokoh lain. Dalam hal ini memang ada perbedaan tipis antara monolog dan soliloqi. Sementara pertunjukan monolog bisa hadir dalam beberapa bentuk sebagaimana dalam tulisan Tentang Monolog (1).

Istilah monolog dari bahasa Yunani monos (tunggal) dan legein (berbicara) adalah sebuah pidato yang disampaikaan oleh seseorang pada sejumlah audiens (hadirin atau penonton). Istilah soliloqi dari bahasa Latin solus (sendiri) dan loqui (berbicara) adalah pidato yang seseorang sampaikan pada diri sendiri..

Sumber: http://www.differencebtw.com/difference-between-monologue-and-soliloquy/

Rabu, 24 Mei 2017

TENTANG PERTUNJUKAN DRAMA MONOLOG (1)



Kehadiran monolog mengundang sejumlah hal yang menarik untuk diperbincangkan berkaitan dengan ciri-ciri teater yang melekat di dalamnya. Misalnya sifat pertunjukan, interaksi dengan penonton, kebenaran dan ilusi yang terkandung dalam cerita yang dibawakan, narasi dan pengalaman di dalam naskah itu sendiri.  Pada (teater) monolog bisa dibagi, yaitu: drama monolog dan pertunjukan tunggal (solo performance). Dua bentuk tersebut bisa terpisahdan pada kesempatan lain keduanya erat terjalin. Keduanya melibatkan seorang aktor yang menyampaikan sekumpulan kalimat di hadapaan penonton, sekadang dia menyapa secara langsung penonton, sekadang dia menyebut seorang tokoh lain yang tidak muncul di atas panggung atau diam. Tetapi pertunjukkan monolog memungkinkan menampilkan lebih dari satu aktor di atas panggung. Dalam hal ini, para aktor tersebut  tidak menggunakan menjadikan kalimat-kalimat dalam naskah untuk berdialog. Karena mereka masing-masing adalah “unit-unit” berlainan. Kalimat-kalimat yang dilepaskan oleh para aktor bisa saling tumpang tindih atau berlawanan dalam bentuk monolog.
Naskah-naskah drama pertunjukan monolog, baik monolog maupun pertunjukan tunggal umumnya ditulis dengan teliti. Tetapi naskah-naskah untuk pertunjukan solo sering tidak atau jarang dicetak (print). Para pementas bentuk pertunjukan solo cenderung menuliskan naskah yang sesuai untuk dirinya sendiri dan dipahami diri sendiri. Sementara para aktor monolog sering menggunakan naskah-naskah karya penulis naskah. Oleh karena bentuk pertunjukan solo secara tersirat bisa disebut non-transferable (lakon-lakon mereka tidak bisa/tidak pas dimainkan orang lain). Naskah dan pertunjukan solo cenderung sangat personal.

(dicuplik dengan sentuhan sana-sini dari tulisan by Clare Wallace, Associate Professor at the Department of Anglophone Literatures and Cultures, Charles University, Praha)

Senin, 08 Mei 2017

TUBUH AKTOR SEBAGAI KANVAS

Seorang pakar antropologi dan sosiologi, David Le Breton bilang bahwa kelenturan, keluwesan, dan keliatan tubuh menjadi satu hal biasa dan lumrah dalam masyarakat pos-industri. Dia melihat anatomi tubuh tidak lagi menjadi satu kesatuan dengan hakekat keberadaan manusia. Anatomi menjadi sebuah asesori belaka untuk sebuah presentasi, bahan mentah bagi dunia fashion, serta menjadi bidang untuk menampilkan spesial efek. Mengolah tubuh dan mempresentasikannya memang bukan pilihan satu-satunya dalam pertunjukan saat ini. 
sumber: http://ausdance.org.au/uploads/content/news/2015/GOM-Photo-Steve-Ullathorne.jpg
Persiapan tubuh dengan berbagai metode pelatihan bisa jadi khusus menjadikan tubuh sebagai kanvas, layar, atau dinding. Kerja kreatif lain bisa mengisi karya-karya lain di atasnya. Migrasi tubuh (meminjam istilah tema Hari Tari Dunia 2017 di Solo) karenanya bisa jadi perpindahan tubuh belaka. Seperti pendapat David Le Breton bahwa kemanapun tubuh pergi hanya sebagai asesori belaka. Atau tubuh sebagai kanvas yang ditorehi kecanggihan seni digital semacam visual effect. Penampilan tubuh sangat bergantung pada kekuatan karya multi media.

Tubuh aktor juga bisa mengalami hal seperti itu.  Kreator terlalu sibuk bermain-main dengan elemen-elemen lain selain tubuh aktor. Tontonan-tontonan semacam itu memang memukau dan memanjakan secara visual. Itu tetap asyik. Kita bukan lagi di jaman bersuntuk dengan tubuh saja. Joged Amerta nya mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) mungkin jadi bukan barang asyik buat tubuh-tubuh muda. Metode Suzuki dengan gedruknya bisa jadi terlalu berat buat  tubuh-tubuh masa kini. Sutradara mungkin “tergoda” untuk juga mencicipi kecanggihan visual effect, tetapi bisa berbahaya jika maunya hanya biar dibilang keren. Sutradara tidak cukup kuat gagasannya memasang visual effect yang ada. Selanjutnya tubuh-tubuh aktor hanya jadi kanvas belaka atau tenggelam oleh kecanggihan tehnologi. 

Kembali ke istilah migrasi tubuh (saya merasa keren dan seksi mengucapkan istilah ini!). Tubuh memang melakukan perjalanan setiap hari. Pikiran dan perasaan turut serta di dalamnya. Tetapi apakah pikiran dan perasaan itu mengendali tubuh sepenuhnya pada setiap tempat yang mereka tuju? Atau mereka hanya mempersiapkan diri untuk pasrah dan berserah diri di setiap tempat pemberhentian? Dalam pelatihan tubuh semacam Joged Amerta dan Metode Suzuki (keaktoran), orang belajar membuka kesadaran diri dalam mengendali tubuh.

Selasa, 18 April 2017

PENTAS TEATER DI HINDIA BELANDA DAN PESTA GILA

Sejarah teater Eropa di Hindia Belanda dimulai di kastil yang dikelilingi benteng VOC di Jayakarta (saiki Jakarta) pada 1619.  Sejumlah pegawai kompeni dengan beragam latar belakang membuat produksi yang konon pertama di Asia, yaitu Hamlet karya William Shakespeare saat itu. Peristiwa itu terjadi seusai pertempuran dengan pasukan yang loyal pada Perusahaan Dagang Inggris India Timur (saingan VOC) selama lebih empat bulan yang kemudian menghantar Pangeran Wijayakrama menjadi Sultan Ranamanggala di Banten. Gabungan  prajurit, pedagang, dan budak di benteng VOC itu mengubah gudang menjadi tempat pertunjukan teater. Soal ngowahi gudang jadi gedung teater ini ternyata adalah semangat yang dipelihara hingga kini, bagi orang-orang teater terutama yang nggak kuat nyewa gedung teater representatip, biasanya mereka sulap ruangan apa saja jadi panggung  hehehe.  

Sebanyak 350 pegawai kompeni menghadiri pertunjukan itu. Tetapi sebuah pendapat menyebut bahwa sebenarnya orang Belanda hanya setengah dari seluruh yang hadir dalam peristiwa kesenian itu. Sekitar seperlima dari jumlah itu adalah para budak. Selanjutnya para pemilik budak dan sejumlah gundik pribumi, orang-orang Asia merdeka dan budak; para pedagang Eropa, para penghuni tetap, beberapa tentara, pembuat kapal, tukang kayu, pembuat layar, dan tukang ahli lainya. Sedangkan orang Eropa lain adalah orang Jerman, Perancis, Sckotlandia, Inggris, Denmark, dan Belgia.

Sebagaimana laporan yang tertulis di jurnal, peristiwa itu sangat gaduh dan kisruh. Biarpun mereka mementaskan naskah Hamlet tapi itu dalam rangka seneng-seneng. Bagi kita jaman sekarang bikin produksi Hamlet pasti sudah menguras harta dan tenaga dan bikin kepala pening, ya sutradaranyaa, aktornya dan kru panggung gedandaban. Jadi nonton pentas Hamlet adalah sebuah hiburan. Bahkan acara seusai pementasan tak kalah gayeng. Mereka mengadakan pesta sesudah tontonan rampung. Benteng menjadi tempat pesta yang menyenangkan bagi perangkat pertunjukan dan penonton. Mereka bisa bermain musik, menyanyi, menari sambil dem-deman bersama. Acara bersenang-senang semacam itu rupanya biasa diadakan seusai pementasan teater.

Orang bernama De Jonge mempunyai catatan menarik perihal pesta pasca pentas teater semacam itu. Sebuah lakon berjudul the King of Denmark and the King of Sweden berlangsung di aula pada  suatu hari Senin sore bertepatan Hari Paskah. Setelah pementasan itu usai, para pemain menikmati makan malam (ini mungkin semacam lambaran biar perut siap jika kelak kemasukan arak). Mereka melanjutkan acara penuh kegembiraan sampai larut malam. Orang-orang kulit hitam  diijinkan memainkan alat-alat musik(maklum saja karena biasanya mereka yang dianggap budak dibatasi polahnya). Semua orang seolah merasakan hidup di sebuah wilayah bebas dan merdeka, walau dalam ruang yang dikelilingi tembok alias benteng. Para lelaki yang sudah mabuk mulai mbribig sitik-sitik para perempuan. Mereka saling menggoda dan tergoda yang menjurus pada perbuatan intim. Keadaan tanpa kendali siapapun, karena baik yang pangkatnya juragan sampai jongos sudah dikuasai oleh arak.

Pesta gila dan gaduh semacam bukan hal aneh pada masa itu karena tidak hanya terjadi pada acara berkaitan teater. Sebuah lembaga pengadilan yang berdiri pada 1617 sudah sering mendengar kasus-kasus pembangkangan, penistaan, percekcokan, dan kemabukan. Jurnal Belanda di atas juga melaporkan bahwa orang-orang Belanda sering mengadakan pesta gila-gilaan pada malam hari. Mereka sering mengadakan pesta dengan gaduh dan liar saat merayakan pernikahan antara pembantu-pembantu kompeni dengan “para wanita kulit hitam.”  Sehingga tidak mengherankan kalau M. C. Ricklefs menggambarkaan bahwa para kaum kolonial adalah orang-orang yang suka menghabiskan waktu untuk pesta pora  dengan melanggar susila dan sekaligus mereka suka berdoa.”

Puji syukur, kita semua adalah anak-anak teater yang tertib menjalankan tugas teater. Tidak mewarisi kebiasaan landa macam itu. Kegembiraan kita kini paling hanya foto selfi dan wefie setelah sukses manggung. Hmm.

Senin, 17 April 2017

MUSIK BERKELAS DI AWAL MEI 2017


Gon Gun a.k.a. Gondrong Gunarto lahir di Ngawi pada tanggal 20 Agustus 1974, Pemusik yang akrab di panggil "Gondrong" menemukan gaya bermusiknya sejak belajar di jurusan Karawitan di ISI Solo. Selain menghasilkan sejumlah komposisi musik, Ia juga banyak mengerjakan penggarapan musik untuk beberapa komposisi tari. Komposer, pemusik, kritikus, dan dosen I Wayan Sadra (alm.) menjadi sosok guru, rekan kreatif, dan sahabat bagi penggiat program Bukan Musik Biasa ini. Gon Gun dan Sadra tergabung dalam kelompok musik Sonoseni Ensemble

Ia baru saja memukau penonton di Rounhouse, Camden, London, Inggris (1/2/2017).  Komposer dan musisi kelahiran Sine, Ngawi , Jatim ini menunjukkan kebolehannya dengan permainan seruling bernuansa Jawa dan Sunda. Susheela Raman dan Sams Mills menggandeng seniman ini bersama sejumlah musisi India. Garapan mereka tersaji lewat tajuk Ghost Gamelan Orchestra.

Rabu, 12 April 2017

PASAR SENEN DAN SEJARAH TEATER INDONESIA

sumber: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/04/25/357031/670x335/ini-asal-usul-pasar-senen.jpg
Pasar Senen menjadi tempat berkumpul para seniman yang masih dijangkiti rasa nasionalisme pasca kemerdekaan. Wilayah ini berjarak beberapa kilometer berada di sebelah Tenggara kota VOC lama. Gubernur Jenderal (Perancis), Herman William Daendels (1808-1811) memindahkan Batavia ke daerah baru ini karena menghindari nyamuk malaria dan ia membayangkan tempat ini menjadi sebuah pusat kota baru yang lebih republik, bukan bergaya feodal.

Tahun 1950an,  para seniman yang sering nongkrong di kawasan Pasar Senen adalah bagian dari pemuda-pemuda yang datang dari seluruh pelosok negeri yang baru saja merdeka. Mereka semua menjadikan bekas pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda ini sebagai ruang untuk meraih dan menciptakan segala kesempatan yang tidak tersedia di desa-desa dan daerah asal masing-masing.
Jurnal Sastra Aneka mengumpulkan seri ilustrasi-ilustrasi pendek dengan tajuk Keajaiban Pasar Senen pada tahun 1971. Misbach Jusa Biran sebagai penulis yang memotret kelahiran kegiatan seni budaya poskolonial tersebut.

Sebelum  TIM merebut kekuasaan tempat ini pada tahun 1968, Pasar Senen menjadi sebuah titik temu untuk segala kebersamaan. Para seniman memiliki tempat leyeh-leyeh dan udad-udud alias nongkrong ceria di Restoran Ismail Merapi. Di tempat tersebut, para Seniman Senen bisa minum kopi dan berdebat soal filsafat maupun estetika (sepeteri digambarkan dalam novel “Keajaiban Pasar Senen” karya Misbach Jusa Biran). Menurut Misbach, sebagian dari mereka inilah memiliki keinginan membuat ‘teater’. Ketika mereka menggunakan kata itu, mereka belum pernah mebicarakan genre-genre pertunjukan yang sudah dipelajari oleh para etnografer. Mereka juga tidak berpikir tentang Lenong Betawi atau genre lokal lain. Makna ‘teater’ bagi Seniman Senen adalah sebuah genre baru yang terpisah dari tradisi desa dan juga pertunjukan komersial era kolonial. Poko’e teater!


Dicuplik dari: Indonesian Postcolonial Theatre by Evan Darwin Winet

Minggu, 26 Maret 2017

PAMERAN FOTO DANIEL DI POLANDIA


The photographs in this exhibition represent only a fragment of artistic events taking place today in Indonesia. Performing arts thrive there drawing with sociopolitical issues that inspire the creators of contemporary art in many other countries.

Indonesia is a country of 17 504 islands, 1,340 ethnic groups and 546 languages. They are a source of great wealth and cultural diversity of Indonesia. The creators of art nowoczesnejsÄ… rooted in local traditions and draw inspiration from them. The exhibition "Indonesia on stage," reveals the reality of the contemporary stage of Indonesia. It shows that not only the traditional art known leaflets tourist offices, but also the works of contemporary artists contribute to the creation of wealth and diversity of the country.

Tempat : Museum Asia Pasifik. Warsawa di Polandia
Waktu 31 maret - 7 Mei 2017

Kamis, 23 Maret 2017

GERAK KAKI AKTOR TEATER DAN ENERGI ROH LELUHUR

foto dari http://ddcmontana.com/suzuki-method-of-actor-training/

 Dalam konteks seni tradisi (khususnya, teater), gedruk dan hentakan kaki tidak saja bentuk gerakan yang artinya mendorong, menekan atau mengusir musuh. Tindakan itu juga memiliki maksud mengundang kekuatan dari obyek yang dipuja: memanggil sebuah kekuatan masuk dalam diri seseorang  untuk memunculkan kekuatan dalam dirinya. Gesture semacaam itu dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat dan memunculkan hal magis, mengijinkan roh-roh kebaikan masuk ke tubuh penampil. Roh-roh kebaikan itu memiliki kekuatan yang lebih besar dari roh-roh jahat. Beberapa gesture dalam bentuk hentakan kaki seperti dalam Kabuki dan Noh tidak diragukan berasal dari sensasi-sensasi fisik semacam itu. Gerakan roppo, secara harafiah berarti “jalan menghentak ke enam arah”, dapat diterjemahkan gerakan yang bertujuan memanggil pada roh-roh tersebut untuk membangkitkan energi spiritual dalam diri seseorang. Ketika sebuah roh masuk ke seseorang dengan melakukan gesture tertentu, maka orang itu berubah dan siap melakukan tindakan-tindakan dengan penuh kekuatan dan keberanian.

Itulah alasan mengapa drama-drama klasik Jepang banyak berlangsung di tempat-tempat dimana roh-roh semacam itu diperkirakan tinggal, misalnya pekuburan atau tempat-tempat dengan gundukan tanah disertai nisan menjulang. Selain itu orang sengaja meletakkan beberapa kendi atau guci yang diletakkan di bawah lantai panggung yang memang terdapat rongga di sana. Tujuan dari peletakan benda itu bukan hanya untuk menimbulkan efek gema saat para aktor menghentakkan kaki di atas panggung.  Tujuan lain adalah pemanggilan roh-roh leluhur untuk datang  membawa energi dan merasuki tubuh para pemain. Bila gema suara yang dihasilkan besar, maka hal itu membuktikan kehadiran roh-roh tersebut. Kehadirannya bisa dirasakan melalui sensasi fisik. Ini sebuah bentuk saling merespon antara aktor dan roh.

Beberapa komunitas masyarakat memberikan perhatian pada bagian bawah tubuh termasuk kaki untuk lebih dioperasikan ketimbang bagian atas. Ketika kaki menhentak dan menjejak bumi, maka hal itu menggambarkan otoritas dan dasar yang unik dari manusia. Kaki memiliki arti mendalam berkaitan hubungan antara manusia dan bumi.

(ditulis kembali setelah membaca "Culture is the Body" nya Tadashi Suzuki)

Rabu, 15 Maret 2017

GEDRUK DAN PIROUETTE SEBAGAI EKSPRESI GERAK KAKI

Membangun harmoni dan energi tubuh

foto dari ©Will Brenner Photography
Gedruk adalah istilah dalam Bahasa Jawa untuk menggambarkan atau mengartikan gerakan dalam pelatihan Metode Suzuki. Tenaga (energy) yang muncul ketika kaki menghentak ke lantai menyebar ke menuju tubuh bagian atas. Tetapi tenaga yang tidak mengalir ke tubuh bagian atas sebagaimana mestinya akan menyebabkan bagian itu bergetar (nggregeli). Untuk memperkecil kemungkinan transfer tenaga semacam itu, aktor harus belajar mengendali dan mengisi energi pada wilayah panggul. Dia memberi perhatian pada bagian tengah tubuh. Dia harus belajar mengukur secara terus-menerus hubungan antara bagian atas dan bawah. Semua itu dilakukan sembari melakukan gerakan menghentakkan kaki alias gedruk. Soal pernafasan juga penting. Jika aktor tersebut tidal memiliki ketepatan untuk mengkontrol pernafasan maka saat ia menuju akhir latihan tubuh bagian atasnya akan mulai gemetar. Ia akan kehilangan irama.

foto dari
http://cw.routledge.com/textbooks/actortraining/practitioner-bogart.asp
Teater modern tidak memberi tekanan pada ekspresi kaki. Untuk itu Metode Suzuki hadir memberi kaki kembali mempunyai arti. Latihan itu bentuknya gedruk Sebuah pertunjukan mulai ketika kaki aktor menyentuh tanah, parket, atau panggung. Aktor seperti meletakkan akar dan ia merasakan sensasi itu ketika ia mengangkat dengan ringan tubuhnya dari titik (akar) itu. Aktor menyusun seluruh keberadaa diri berlandaskan kesadaran hubungannya dengan tanah ketika ia membuat kontak dengan lantai. 

Soal kaki bersentuhan tanah beserta makna wigati yang terkandung di dalamnya juga ada pada balet. Pirouette adalah gerakan tubuh yang berputar dengan bertumpu hanya pada satu kaki pada balet. Pirouette menjadi simbol gagasan tentang hubungan tubuh (kaki) dengan tanah (bumi). Ini menjadi simbol harmoni dan keseimbangan antara langit dan bumi, tinggi dan rendah, tanpa bobot dan berat. Apa yang jadi pendapat Gerhard Zacharias, seorang pengamat tari asal Belanda ini juga menjadi kajian Tadashi Suzuki ketika ia menciptakan metode pelatihannya. 

Senin, 06 Maret 2017

TADASHI SUZUKI DAN DAYA HEWAN (Bagian 3)

Metode Suzuki adalah sebuah perlawanan terhadap modernisasi

(sumber foto: theatrebloggeratuni.files.wordpress.com)

Modernisasi menggelisahkan Tadashi Suzuki. Modernisasi telah melemahkan kemampuan aktor. Semenjak teater modern Jepang berusaha mengadopsi bentuk drama Eropa dan mengawinkannya secara teatrikal dengan gaya kotemporer Jepang, tidak ada ruang untuk gerakan kaki telanjang. Aktor harus memakai sepatu untuk tampil. Mereka memiliki cara berbicara “tanpa menyertakan kaki mereka.”. 

Pendapat Suzuki di atas mengingatkan saya pada Mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo, Padepokan Lemah Putih). Satu kali, Mbah Prapto bilang, "Gus, coba kowe latiana mlaku." Guru Joged Amerta itu meminta saya berjalan dan mencoba merasakan persentuhan kedua telapak kaki dengan lantai. Sebuah latihan yang unik kala itu!

Tadashi Suzuki berjuang untuk merestorasi keseluruhan tubuh manusia dalam pemanggungan. Ia tidak begitu saja menciptakaan beragam bentuk semacam yang ada dalam Noh dan Kabuki, Suzuki mengambil nilai-nilai universal yang terkandung dalam Noh dan Kabuki dan tradisi pramodern lain. Dengan Pengembangan nilai-nilai terebut, Suzuki menciptakan sebuah kesempatan untuk menggabungkan kembali kemampuan tubuh yang telah terpotong-potong dan menghidupkan kembali kapasitas persepsi dan ekspresi tubuh.

Metode Suzuki adalah sebuah perlawanan terhadap modernisasi yang melemahkan kemampuan aktor. Ini bukan perlawanan biasa yang sekedar melawan hegemoni kekuatan artistik secara global. Metode Suzuki adalah bagian dari respon terhadap apa yang secara keseluruhan terjadi. Ketika modernisasi segala bidang telah menggerus nilai-nilai murni kemanusiaan bahkan menghinggapi dunia panggung, Susuki langsung berpaling pada  tradisi ia langsung cancut taliwandha!

Suzuki ingin membawa manusia (aktor) pulang ke peradaban sejati. Apalagi modernisasi telah punya dan menciptakan sendiri tentang makna peradaban. Ia ingin mendekatkan lebih erat lagi antara manusia (aktor) dengan bumi (panggung). Karena mereka seharusnya tidak terpisah, intim, saling memahami, saling menyalurkan kekuatan dan daya kewan menjadi pilihan.

Catatan: tiga bagian tulisan tentang Metode Suzuki ini bahannya dari buku “Culture is the Body” by Tadashi Suzuki. Buku itu adalah oleh-oleh berharga dari Mas Dipoyono saat berkunjung ke Jepang.

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...