Sabtu, 28 Juni 2008



FESTIVAL MONOLOG 2008:
KEBANGKITAN AKTOR DAN KEGAGAPAN SUTRADARA
Oleh Y.E. Marstyanto


Festival Monolog 2008 telah berlangsung di Teater Kecil ISI Surakarta, tanggal 12-13 Maret 2008. Ajang unjuk kemampuan aktor tingkat SMTA se-eks karesidenan Surakarta ini diselenggarakan oleh UPT Ajang Gelar ISI Surakarta. Inilah festival monolog tingkat SMTA pertama yang terjadi di Kota Surakarta. Meski di bidang ajang tanding olah peran, pelaksanan festival ini bukan yang pertama kali dan satu-satunya. Sebab Teater Gidag Gidig Surakarta juga memiliki acara rutin dua tahunan yang dikenal sebagai Festival Teater SLTA yang sudah berlangsung sejak 1989.

Festival Monolog 2008 ini adalah sebuah program kelanjutan dari kegiatan workshop tata cahaya yang diselenggarakan UPT Ajang Gelar ISI Surakarta yang juga diikuti pelajar SLTA beberapa waktu sebelumnya. Intinya, kegiatan tersebutadalah sebuah upaya ISI Surakarta membangun citranya di kalangan pelajar SLTA untuk selanjutnya mendorong minat mereka menempuh pendidikan di lembaga pendidikan seni tersebut. Meskipun di satu sisi, kegiatan ini juga sangat penting bagi para siswa SLTA yang bergelut di dunia seni peran. Mereka akan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang panggung dan unsur-unsur di dalamnya. Di mana aksi monolog mereka bertemu dengan ruang pertunjukan representatif, yaitu Teater Kecil ISI Surakarta.

Para peserta hadir dari berbagai SMU dan SMK yang ada di Karangpandan-Karanganyar, Wonogiri, dan Surakarta. Jumlah peserta dalam festival ini terhitung sedikit jika dibandingkan dengan kegiatan “sejenis” yang diadakan rutin oleh Teater Gidag Gidig. Dari sejumlah 11 peserta yang mengikuti festival ini, sebetulnya hanya hadir dari 8 sekolah. Karena ada tiga sekolah yang mengirim 2 orang wakilnya di festival ini. Padahal festival teater SLTA yang diselenggarakan TGG rata-rata diikuti 15 kelompok yang mewakili 15 sekolah berbeda.

Festival Monolog yang baru pertama kali diadakan ini juga merupakan wadah kebangkitan bagi aktor muda (SLTA) di Surakarta dan sekitarnya. Tetapi tidak demikian di wilayah penyutradaraan. Sebab dari ke-11 garapan monolog yang ditampilkan hampir semuanya begitu kuat menyiratkan dominasi sutradara (pelatihnya). Sebagai contoh bagaimana sering terasa aktor di atas panggung sebenarnya masih berjarak dengan naskah yang dimainkannya. Hal ini juga sebenarnya adalah persoalan pemilihan naskah yang pasti ditentukan oleh sang sutradara. Misalnya pada lakon Topeng-Topeng karya Rachman Sabur yang dimainkan BRA Isabela Ratu. Wakil SMUN 3 Surakarta ini tampak sedikit kesulitan memahami kalimat-kalimat dalam naskah. Makna-makna filososfis dan bersayap dalam naskah terlalu datar disampaikan baik lewat dialog maupun acting. Hal ini bisa saja terjadi karena sang sutradara Eko Wiyanto sendiri juga belum tuntas memahami naskah tersebut. Hal serupa juga terjadi pada penampilan Ririn Rasputin yang mewakili SMK Sahid Surakarta. Dia tampil membawakan lakon berjudul Wajah karya dan sutradara Santosa, S. Pd. Meskipun naskah ini merupakan karya pelatih dan sutradaranya sendiri tapi agaknya juga belum mampu diungkapkan dengan baik oleh Ririn. Meskipun di satu sisi, gagasan naskah ini juga mash lemah, Naskah ini tidak menghadirkan tokoh darah daging, tetapi semacam tokoh menyampaikan berbagai pertanyaan tentang wajahku, wajahmu, dan wajah kita. Karakter tokoh cukup sulit diindentifikasi dalam naskah ini. Apalagi ketika naskah ini membicarakan “wajah” sang sutradara memilih make up wajah dan ilustrasi musik bernuansa Jepang. Apa hubungannya?

Persoalan dalam naskah memang menjadi hal paling kentara dalam festival ini. Sebab wilayah basic itulah yang akan melandasi keseluruhan bentuk pementasan. Termasuk juga masalah adaptasi naskah seperti yang ditampilkan Fairus Salicha Khairunisa yang memainkan naskah Penangkapan Sukra karya Gunawan Muhammad. Wakil dari SMUN 2 Surakarta ini sebenarnya adalah sosok aktor perempuan yang bagus secara teknis, baik vokal maupun gerak tubuh. Tapi Drs. Sriyono, sang sutradara, sekedar mencasting dia sebagai Sukra, tokoh pemuda lugu nan tampan dan rupawan dalam naskah itu. Persoalan bahwa sang aktor adalah perempuan dan tokoh dalam naskah adalah laki-laki, kurang serius dipikirkan sang sutradara. Sehingga sang tokoh pembela kebenaran dan keadilan dalam cerita itu sangat membingungkan jenis kelaminnya. Seandainya saja Penangkapan Sukro diadaptasi sedemikian rupa untuk pemain sekualitas Fairus. Demikian pula sutradara Yustinus Popo ketika memilih lakon Aku Pasti Pergi (adaptasi naskah Merdeka Sakit karya Hanindawan) telah gagal menempatkan aktornya bermain maksimal di atas panggung. Merdeka Sakit karya Hanindawan bercerita tentang tokoh bernama Merdeka yang “disakitkan” oleh seluruh anggota keluarganya. Kemudian dia memutuskan untuk pergi dari “rumahnya.” Sebuah naskah yang berbicara tentang sesuatu yang besar lewat sebuah lingkup keluarga. Aku Pasti Pergi mencoba memfokuskan diri pada sosok Merdeka yang memutuskan pergi dari rumah. Tapi adaptasi ini hanya sekedar menjadi sebuah naskah yang dipotong-potong untuk mengambil bagian-bagian yang dianggap perlu.

Sebagian naskah yang dibawakan para peserta adalah naskah-naskah karya penulis dan dramawan senior. Misalnya wakil Teater Biroe SMU Yosef Surakarta, SMUN 2 Surakarta, dan SMUN Karangpandan menggarap naskah Blok karya Putu Wijaya; wakil SMUN 3 membawakan naskah Aeng karya Putu Wijaya; Teater Bungkus SMUN 2 Wonogiri menggarap naskah Bersamadi karya penulis Jepang tidak dikenal abad ke-15. Dari antara 11 karya yang ditampilkan dalam festival tersebut, hanya sebanyak 3 naskah tulisan sutradara maupun pelatihnya sendiri. Karya-karya tersebut adalah Wajah karya Santosa, S. Pd (SMK Sahid Surakarta), Bayang-bayang Wayang yang dimainkan sendiri oleh penulisnya, Kusnanto Riwus Ginanjar yang mewakili SMU MTA Surakarta; dan Srintil karya Pardiatmoko, S. Pd (SMUN 2 Wonogiri).

Festival Monolog 2008 juga ajang yang menarik untuk menyaksikan kemampuan aktor muda. Puti Iramasani cukup lepas memainkan perannya dalam lakon Aeng karya Putu Wijaya. Siswi yang mewakili Studi Teater SMUN 3 Surakarta ini membuka permainannya dengan tergolek di atas meja yang disorot lampu spot. Dari sana ia menggulirkan dirinya sebagai tokoh narapidana yang menanti detik-detik menjelang hukuman mati. Rasa kesepian tokoh ditampilkan lewat adegannya berbicara dengan kecoak dan topi. Agustinus Rudy cukup mampu memahamkan naskah tersebut kepada pemainnya. Sehingga pemain tak sekedar terjebak dalam laku teknis. Karya Putu Wijaya lain, Blok, juga mampu dimainkan dengan gemilang oleh Mufied Fauziah. Wakil SMUN Karangpandan-Karanganyar ini cukup memukau dengan penampilan sosok perempuan tua yang diperankannya. Naskah Blok menyatu dengan tubuhnya. Naskah dan tubuh berlomba saling menghidupkan satu sama lain. Perempuan tua hadir dalam perjumpaan dan penceritaan pada seorang muda yang punya harapan mengubah dunia. Ia tergila-gila menjadi presiden padahal bakat terbesarnya adalah membadut. Keindahan olah peran yang ditampilkan didukung oleh penyutradaraan yang baik dari M. Dolly. Interior meja dan dua kursi rotan sederhana serta pencahayaan yang detil membuat sajian ini enak ditonton. Sementara penonton disuguhi tontonan segar berjudul Srinthil karya Pardiatmoko, S. Pd. Lakon ini disajikan oleh Wasti yang mewakili Teater Bungkus SMUN 2 Wonogiri. Srinthil adalah lakon bernuansa komedi dengan alur cerita sederhana tetapi dengan sejumlah kejutan di beberapa bagian pementasannya. Srinthil bercerita tentang Srinthil yang mencari Robi, sang kekasih, yang meninggalkannya. Meskipun lakon ini tergolong “ringan” dan mudah dicerna penonton, tetapi yang membuat tidak sederhana adalah kemampuan olah peran yang dimiliki Wasti. Sang sutradara, Pardiatmoko, S. Pd mampu mengarahkan acting pemainnya pada setiap timing yang tepat. Sebuah tontonan komedi yang ternyata bisa ditampilkan dengan elegance oleh aktor SLTA.

Pada akhirnya Festival Monolog 2008 memutuskan tiga penampil terbaik (begitulah keputusan panitia untuk menyebut tiga aktor pemenang tanpa peringkat). Mereka adalah Puti Irana Sani (Studi Teater SMUN 3 Surakarta); Mufied Fauziah (SMUN Karangpandan-Karanganyar); dan Wasti (Teater Bungkus, SMUN 2 Wonogiri). Para pemenang didominasi peserta dari luar Surakarta yang kebetulan juga dibimbing oleh para pelatih dan sutradara muda. Masing-masing pemenang memproleh trophy dari Rektor ISI Surakarta dan uang pembinaan masing-masing sebesar 1 juta rupiah.


*) Penulis adalah alumni peserta Festival Teater SLTA se-Surakarta


Selasa, 24 Juni 2008

Agenda Akhir Minggu


Pangsuma dan Macaning

Pangsuma adalah tokoh pejuang perintis kemerdekaan yang berasal dari etnis Dayak. Pangsuma terlibat dalam perjuangan fisik di masa pendudukan Jepang (1942-1945) di wilayah kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat). Pasungma menjadi pemimpin gerakan perjuangan melawan penjajah bagi semua etnis di masa itu. Berbagai etnis di wilayah Sanggau, seperti Dayak, Melayu, dan Tionghoa sangat sangat terinspirasi oleh kredonya yang terkenal, yaitu Daripada Hidup Berputih Mata, Lebih Baik mati perutih Tulang.

Pangsuma diangkat kembali dalam sebuah seni pertunjukan berjudul “Pangsuma (Kisah Perjuangan Perang Majangdesa)”. Sajian seni pertunjukan ini akan mengkolaborasikan antara teater, tari dan musik. Kekuatan berbagai tradisi di Kabupaten Sanggau akan sangat dikedepankan dalam pertunjukan ini. Eksotisme kekayaan budaya lokal dari etnis-etnis yang ada seperti Dayak, Melayu, dan Tionghoa diharapkan menjadi daya tarik pertunjukan ini.

Pertunjukan berjudul “Pangsuma (Kisah Perjuangan Perang Majangdesa)” ditulis dan disutradarai oleh David Dino Wijayanto, S. Sn. Selain juga didukung oleh sejumlah seniman dan seniwati dari Kabupaten Sanggau. Pertunjukan tersebut akan berlangsung Minggu, 29 Juni 2008 di Padepokan Lemah Putih, Plesungan, Mojosongo.

Sedangkan, pada Senin, 30 Juni 2008, Padepokan Lemah Putih akan menghadirkan program rutin sebulan sekali, Macaning. Kali ini, Macaning akan menampilkan dua sajian bernuansa sastra. Sajian pertama sebuah pertunjukan puisi doa oleh Arsono. Dia adalah seorang penggiat teater dan juga vokalis sebuah kelompok musik. Saat kuliah, Arsono pernah bergabung dengan Kelompok Teater Wejang FKIP UMS.

Kemudian, penyaji kedua adalah Yuditeha, seorang cerpenis dan penyair. Penggiat sastra dan Ketua Himpunan Pengarang Karanganyar (HPK) 'Ayo Nulis' ini akan menghadirkan musikalisasi puisi. Bentuk lain dari karya-karya puisinya tersebut diharapkan dapat lebih menyentuh sewaktu kepada penikmatnya.

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...