Rabu, 24 Mei 2017

TENTANG PERTUNJUKAN DRAMA MONOLOG (1)



Kehadiran monolog mengundang sejumlah hal yang menarik untuk diperbincangkan berkaitan dengan ciri-ciri teater yang melekat di dalamnya. Misalnya sifat pertunjukan, interaksi dengan penonton, kebenaran dan ilusi yang terkandung dalam cerita yang dibawakan, narasi dan pengalaman di dalam naskah itu sendiri.  Pada (teater) monolog bisa dibagi, yaitu: drama monolog dan pertunjukan tunggal (solo performance). Dua bentuk tersebut bisa terpisahdan pada kesempatan lain keduanya erat terjalin. Keduanya melibatkan seorang aktor yang menyampaikan sekumpulan kalimat di hadapaan penonton, sekadang dia menyapa secara langsung penonton, sekadang dia menyebut seorang tokoh lain yang tidak muncul di atas panggung atau diam. Tetapi pertunjukkan monolog memungkinkan menampilkan lebih dari satu aktor di atas panggung. Dalam hal ini, para aktor tersebut  tidak menggunakan menjadikan kalimat-kalimat dalam naskah untuk berdialog. Karena mereka masing-masing adalah “unit-unit” berlainan. Kalimat-kalimat yang dilepaskan oleh para aktor bisa saling tumpang tindih atau berlawanan dalam bentuk monolog.
Naskah-naskah drama pertunjukan monolog, baik monolog maupun pertunjukan tunggal umumnya ditulis dengan teliti. Tetapi naskah-naskah untuk pertunjukan solo sering tidak atau jarang dicetak (print). Para pementas bentuk pertunjukan solo cenderung menuliskan naskah yang sesuai untuk dirinya sendiri dan dipahami diri sendiri. Sementara para aktor monolog sering menggunakan naskah-naskah karya penulis naskah. Oleh karena bentuk pertunjukan solo secara tersirat bisa disebut non-transferable (lakon-lakon mereka tidak bisa/tidak pas dimainkan orang lain). Naskah dan pertunjukan solo cenderung sangat personal.

(dicuplik dengan sentuhan sana-sini dari tulisan by Clare Wallace, Associate Professor at the Department of Anglophone Literatures and Cultures, Charles University, Praha)

Senin, 08 Mei 2017

TUBUH AKTOR SEBAGAI KANVAS

Seorang pakar antropologi dan sosiologi, David Le Breton bilang bahwa kelenturan, keluwesan, dan keliatan tubuh menjadi satu hal biasa dan lumrah dalam masyarakat pos-industri. Dia melihat anatomi tubuh tidak lagi menjadi satu kesatuan dengan hakekat keberadaan manusia. Anatomi menjadi sebuah asesori belaka untuk sebuah presentasi, bahan mentah bagi dunia fashion, serta menjadi bidang untuk menampilkan spesial efek. Mengolah tubuh dan mempresentasikannya memang bukan pilihan satu-satunya dalam pertunjukan saat ini. 
sumber: http://ausdance.org.au/uploads/content/news/2015/GOM-Photo-Steve-Ullathorne.jpg
Persiapan tubuh dengan berbagai metode pelatihan bisa jadi khusus menjadikan tubuh sebagai kanvas, layar, atau dinding. Kerja kreatif lain bisa mengisi karya-karya lain di atasnya. Migrasi tubuh (meminjam istilah tema Hari Tari Dunia 2017 di Solo) karenanya bisa jadi perpindahan tubuh belaka. Seperti pendapat David Le Breton bahwa kemanapun tubuh pergi hanya sebagai asesori belaka. Atau tubuh sebagai kanvas yang ditorehi kecanggihan seni digital semacam visual effect. Penampilan tubuh sangat bergantung pada kekuatan karya multi media.

Tubuh aktor juga bisa mengalami hal seperti itu.  Kreator terlalu sibuk bermain-main dengan elemen-elemen lain selain tubuh aktor. Tontonan-tontonan semacam itu memang memukau dan memanjakan secara visual. Itu tetap asyik. Kita bukan lagi di jaman bersuntuk dengan tubuh saja. Joged Amerta nya mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) mungkin jadi bukan barang asyik buat tubuh-tubuh muda. Metode Suzuki dengan gedruknya bisa jadi terlalu berat buat  tubuh-tubuh masa kini. Sutradara mungkin “tergoda” untuk juga mencicipi kecanggihan visual effect, tetapi bisa berbahaya jika maunya hanya biar dibilang keren. Sutradara tidak cukup kuat gagasannya memasang visual effect yang ada. Selanjutnya tubuh-tubuh aktor hanya jadi kanvas belaka atau tenggelam oleh kecanggihan tehnologi. 

Kembali ke istilah migrasi tubuh (saya merasa keren dan seksi mengucapkan istilah ini!). Tubuh memang melakukan perjalanan setiap hari. Pikiran dan perasaan turut serta di dalamnya. Tetapi apakah pikiran dan perasaan itu mengendali tubuh sepenuhnya pada setiap tempat yang mereka tuju? Atau mereka hanya mempersiapkan diri untuk pasrah dan berserah diri di setiap tempat pemberhentian? Dalam pelatihan tubuh semacam Joged Amerta dan Metode Suzuki (keaktoran), orang belajar membuka kesadaran diri dalam mengendali tubuh.

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...