Senin, 02 September 2019

Seni Teater dan Aksi Sosial


Bagaimana seni mempengaruhi perubahan sosial atau politik? Perbincangan tentang hal itu sudah terjadi beberapa kali di lingkungan seni (teater) di Eropa dan Amerika. Selain itu juga di belahan lain di dunia termasuk Indonesia.

Sumber: https://www.emilyjupp.co.uk/counting-sheep-by-belarus-free-theatre-review/uncategorized/review/

Sejarah pertunjukan teater memiliki catatan panjang menjadikan pertunjukan sebagai bagian dari gerakan para aktifis. Misalnya intervensi jalanan yang dilakukan Bread and Puppet Theatre di Amerika Serikat dan beberapa kelompok lain.  Judy Chicago (penulis dan aktifis feminis) pernah berpendapat bahwa "pertunjukan dapat dipicu oleh kemarahan dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh lukisan atau patung". Segala jenis protes tingkat jalanan, semacam protes pro-demokrasi di Hong Kong, secara efektif merupakan bentuk teater.  Bentuk flash mob juga bisa menjadi upaya untuk membangkitkan kesadaran tentang sesuatu.

Jadi ketika seni dan aktivisme berjalan beriringan, apakah mereka benar-benar mengubah apa pun? Atau bisakah kita benar-benar berharap bahwa pertunjukan teater dengan mengusung nada desakan dan penuh amarah terhadap sebuah situasi bisa mendorong penonton bergegas membentuk barikade dan menggulingkan pemerintah?

Ada banyak teater politik, terutama di Eropa dan Amerika. Tetapi apakah pertunjukan-pertunjukkan semacam itu tidak berarti apa pun selain berkhotbah kepada orang yang “bertobat”? Bagaimana mereka bisa menyampaikan gagasan kritis mereka pada masyarakat yang lebih luas?

Pendiri dan aktivis teater Turki Memet Ali Alabora berpendapat bahwa acara-acara seni tentu saja dapat berkontribusi pada perubahan politik. Dia dan beberapa orang terlibat dalam pementasan drama di Cardiff (Inggris Raya), tempat ia mengasingkan diri. Sebelumnya   pemerintah Turki dan media pro-pemerintah menuduh dia melakukan pementasan bernunasa hasutan dan menjadi "latihan" untuk protes Taman Gezi 2013 di Istanbul.

Aksi itu disebut sebagai gelombang protes terbesar dalam sejarah Turki baru-baru ini. Ratusan ribu turun ke jalan untuk menentang usulan pembongkaran taman dalam kota untuk membuat jalan bagi pusat perbelanjaan bergaya Ottoman. Sebuah proyek yang mendapat dukungan secara pribadi oleh perdana menteri waktu itu (dan presiden saat ini) Recep Tayyip Erdoğan. Buntut aksi itu membuat Alabora mendapat ancaman karena aksinya itu. Seperti halnya Teater

Bahaya seperti itu mungkin tidak ada di Eropa dan Amerika, tetapi jelas ini menunjukkan bahwa seni dan teater masih dapat membuat perbedaan bagi kehidupan orang-orang di tingkat akar rumput. Tetapi apakah mungkin gerakan teater semacam itu bisa terjadi di daerah pinggiran (pedesaan)? Apakah isu-isu yang diusung dalam pertunjukan teater seacam itu hanya dapat menjangkau pikiran mereka yang tinggal di kota-kota besar.

Rhiannon White, dari Common Wealth Theatre (Inggris), berpendapat bahwa seniman yang mengerjakan karya seni bagi masyarakat perlu mengadopsi proyek-proyek yang benar-benar diinginkan masyarakat. Dia percaya seni komunitas tidak akan mengubah apa pun jika itu tidak memiliki efek berkelanjutan memberdayakan masyarakat untuk melanjutkan apa yang telah dimulai.

Direktur artistik Battersea Arts Centre (London, Inggris), David Jubb mengamati bahwa teater “melayani lebih banyak kalangan tertentu dan berisiko menjadi tidak relevan bagi banyak orang. Teater lebih disukai segelintir orang”. Dia mengatakan ini adalah "sangat merugikan seniman dan peran potensial mereka sebagai pembuat perubahan".

Sumber: https://dailybruin.com/2019/04/23/forum-theatre-performance-to-promote-audience-participation-with-social-issues/

Gagasan tentang seniman sebagai pendorong perubahan adalah gagasan bagus sekaligus memiliki daya tarik khusus ketika isu hak azasi manusia semakin dibangkitkan. Tindakan mengumpulkan banyak orang dalam sebuah tonotonan itu manjur, sekaligus berpotensi berbahaya.

Pementasan teater di Royal Court (gedung teater di Inggris), betapapun mengusung nada kemarahan dan ketegangan, mungkin tidak akan membawa perubahan sosial. Sebaliknya para pembuat karya teater tingkat akar rumput mungkin bisa membuat masyarakat bersatu secara sosial, mengakhiri isolasi, menyelesaikan masalah lokal dan mengartikulasikan ambisi mereka. Peristiwa teater yang mereka lakoni menantang budaya dominan dan cara berpikir dan tindakan  yang mapan. Para kreator ini membuktikan bahwa teater dan aktivisme adalah rekan seperjalanan. Teater dan aktvisme lebih kuat bersama daripada terpisah. (ye)


sumber: https://www.theguardian.com/stage/theatreblog/2016/mar/23/theatre-effective-protest-activism-change-debate

Rabu, 24 Juli 2019

Teks dan Pertunjukan Teater

Ilhan Beyazay @flickr.com
Ada dua hal yang bisa dibedakan dalam peristiwa teater, yaitu pertunjukan dan apa yang dipertunjukkan. Kita juga bisa menyebutnya sebagai perbedaan antara produksi dan naskah lakon itu sendiri, misalnya, produksi Hamlet oleh Royal Shakespeare Company (RSC) and naskah lakon Hamlet karya Shakespeare.

Dalam teater, kita biasanya menyebut apa yang dipertunjukkan sebagai "naskah lakon." Istilah ini tidak tepat. Bagaimanapun, dalam hal ini kita juga berbicara tentang “melihat” sebuah naskah lakon. Contohnya  pertunjukan Hamlet oleh RSC. Kita lebih condong mengarah pada pertunjukan (oleh RSC) dari pada teks (naskah lakon karya Shakespeare).

Sebuah buku yang berisi "Kumpulan Drama William Shakespeare" akan menjadi sebuah kumpulan teks, bukan pertunjukan. Ketika kita berbicara tentang melihat pertunjukan, kita berbicara tentang mendengarkan dialog dan melihat serangkaian acting sebagaimana tercatat dalam teks tertentu. Setiap naskah lakon (teks) memiliki elemen-elemen yang dibutuhkan untuk sebuah produksi pementasan naskah lakon bersangkutan. Sehingga jika seseorang tidak menggunakan teks Hamlet (misalnya), orang sama sekali tidak bisa dikatakan menggarap Hamlet. Ini menunjukkan bahwa ketika kita berbicara tentang naskah lakon, yang kita maksudkan adalah teks.

Selanjutnya, ketika kita menghadiri pertunjukan drama, kita tidak mengalami teks tertulis. Sebaliknya, kita melihat aktor mengucapkan barus-baris kalimat dan menampilkan acting yang dijelaskan dalam teks. Kita juga melihat set, lampu, kostum dan beragam acting yang sama sekali tidak dituliskan dalam teks. Jadi, kita seharusnya tidak samakan lakon dengan teks. Sebagai gantinya, mari kita meminjam istilah dari Wolterstorff (1975) dan menunjuk hal yang ditampilkan dalam pertunjukan teater sebagai karya pertunjukan.

Ini penting untuk dicatat bahwa karya pertunjukan adalah hal yang dipertunjukkan; itu semata bukan pertunjukan itu sendiri. Ini mengacu pada dialog dan acting yang telah diciptakan bagi para aktor untuk tampil, beserta dengan elemen-elemen lain seperti karakter dan alur peristiwa. Karya pertunjukan adalah sebuah konsep abstrak, tetapi dialog dan acting biasanya dinotasikan dalam bentuk konkret sebuah naskah lakon (teks).
Photo by Vadim Fomenok on Unsplash

Secara sederhana, kita dapat menganggap naskah lakon sebagai karya penulis naskah, meskipun sekadang naskah (teks) dihasilkan secara kolaborasi atau dengan cara lain. Selain itu, tidak semua pertunjukan teater menggunakan naskah tertulis. Beberapa pertunjukan berangkat dari garis besar plot atau perencanaan lain. Ada beberapa melakukan improvisasi secara langsung berdasarkan unsur-unsur yang tidak banyak. Orang mungkin berpendapat bahwa untuk bentuk seperti itu, tidak ada sesuatu yang dipertunjukkan, kecuali hanya pertunjukan itu sendiri. (ye)

Sumber: The Difficulty of An Ontology of Live Performance by Colin Doty (UCLA)

Selasa, 21 Mei 2019

Gedung Teater dan Jarak Pertunjukan

Sumber: pixabay.com

Pada akhir abad ke-19, arsitektur gedung teater kontemporer mulai memunculkan bentuknya.  Beberapa inovasi tehnis terjadi pada gedung teater yang memiliki dampak luas pada unsur-unsur di dalamnya. Tampilan arsitektur bangunan gedung teater menjadi sesuatu yang menonjol pada pada abad ke-19. Tampilan-tampilan itu di antaranya adalah lampu gas, sistem rail, gantungan lampu dan listrik, dan munculnya panggung datar.

Meskipun  banyak muncul inovasi, konsep arsitektur gedung teater tidak berubah. Panggung model Jaman Baroque masih tetap dominan. Selain arsitektur, berbagai inovasi tehnik membawa perubahan besar dalam teater pada periode ini. Belakangan, auditorium (ruang penonton) seolah tenggelam dalam kegelapan dan terpisah dari ruang adegan.

Seorang pengamat berpendapat bahwa susuanan semacam itu menegaskan bahwa sesuatu yang sakral terletak dalam ruang mental penonton dan bukan pada lingkungan fisik yang ditempati tubuh mereka. Gedung teater seperti mencapai bentuk finalnya sepanjang periode ini. Panggung, auditorium, bingkai panggung, lobi, ruangan-ruangan kecil, bagian administrasi adalah semua elemen yang akan menjadi satu kesatuan sebagaimana kita masih jumpai hingga saat ini.

Charles Rennie Mackintosh menyatakan bahwa tahun 1876 adalah tahun kunci bagi studi arsitektur gedung teater modern bersamaan dengan pembukaan Gedung Teater Wagner di Bayreuth (Jerman). Arsitek Inggris itu mengatakan bahwa gedung ini menandai sebuah permulaan arsitektur gedung teater modern. Pada masa itu, pertama kalinya tradisi dalam arsitektur gedung teater mengalami perubahan-perubahan.

Tantangan menarik ini diciptakan oleh Wilhelm Richard Wagner (1813-1883) sebagai sebuah hasil dari gagasan radikalnya tentang mendekatkan aktor dan penonton dalam satu kesatuan. Wagner’s Gesamtkunswerk (gagasan seni total Wagner) sangat kuat mempengaruhi seni teater pada awal abad ke-20. Salah satu seniman teater terkemuka yang memiliki pengaruh besar dari Wagner adalah Adolphe Appia (1862-1928). Teaterawan Swiss ini adalah salah satu pelopor seni tata panggung modern. Karya dan gagasan seni Wagner memberi inspirasi sekaligus membangkitkan ketidakpuasan dalam diri Appia.

Appia pun memutuskan mereformasi produksi teater. Hingga akhir hidupnya, Appia tidak hanya melakukan perombakan produksi teater, tetapi ia juga melakukan restorasi teater untuk kembali pada masa Yunani kuno. Ia menggambarkan bingkai lengkung di depan panggung proscenium sebagai titik kontak antara dua dunia, yaitu aktor dan penonton.

Appia tidak hanya penentang konsep pemisahan antara penonton dan aktor (panggung dan aktor), tetapi juga pemisahan antar penonton.  Appia berpendapat bahwa Ruang cekungan di depan panggung tempat pemain musik (pit) harus hilang, Panggung beserta auditoriumnya harus satu kesatuan, bingkai (gapura) lengkung pada panggung proscenium (lubang kunci raksasa) harus juga hilang sehingga  memungkinkan interaksi penuh antara audience antara aktor.
                 
Seorang penulis Perancis bernama Bablet memiliki pendapat menarik soal Appia. Kita berhutang pada Appia untuk segala yang meruntuhkan ruang tradisional, segala yang menyebabkan perkembangan dan menciptakan kedekatan secara fisik dan spiritual antara aktor dan penonton.

Sumber: Photo by Karen Zhao on Unsplash
Appia ingin mewujudkan sebuah gedung teater yang akan memiliki kesesuaian keadaan optik dan akustik. Sebuah gedung yang bisa mengikat ruang pementasan dan auditorium sebagai satu kesatuan. Keseluruhan area gedung seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga hal itu memuaskan kebutuhan secara akustik, optik, dan visual.

Soal gagasan ini, Appia memperjelas bahwa drama dan aksi di dalamnya, tidak hanya mengambil tempat di panggung, tetapi pada saat bersamaan terjadi di ruang imajinasi penonton. Appia menyebut gedung teater yang diperbaharui sebagai Katedral masa depan yang bebas, ruang besar dan bisa berubah.

Gedung teater menjadi sebuang ruang yang seharusnya menerima beragam manifestasi kehidupan sosial dan artistik manusia. Ruang di mana seni drama akan berkembang, dengan atau tanpa penonton. Gedung teater seharusnya tidak memisahkan atau menciptakan hubungan antar personal yang hirarkis. (yem)

sumber: berbagai sumber

Kamis, 02 Mei 2019

Listrik, Cahaya, dan Panggung

Photo by LinYongchen on flickr


Dua ahli teori dan perancang gerakan non-ilusionis panggung terkemuka adalah Adolphe Appia (Swiss) dan Edward Gordon Craig (Inggris). Appia menyatakan bahwa tujuan mendasar dari produksi teater adalah kesatuan artistik. Dia menyimpulkan bahwa ada tiga elemen yang saling bertentangan dalam sebuah produksi pementasan teater. Ketiganya adalah aktor (wujud tiga dimensi) yang beracting, set panggung vertikal yang diam, dan lantai horizontal.

Dia juga  mengkategorikan pencahayaan panggung mencakup tiga hal: lampu general atau yang menimbulkan pencahayaan luas; cahaya formatif yang menciptakan bayangan, dan cahaya yang menciptakan efek pada set panggung. Dia berpendapat bahwa teater ilusionis hanya menggunakan yang pertama dan terakhir.

Appia mengusulkan mengganti lukisan pemandangan ilusi dengan struktur tiga dimensi yang dapat diubah tampilannya dengan memvariasikan warna, intensitas, dan arah pencahayaan. Struktur solid, menurut Appia, akan berfungsi untuk menciptakan ikatan antara lantai horizontal dan pemandangan vertikal dan meningkatkan gerakan aktor, yang secara ritmik dikendalikan oleh musik iringan.

Lampu, juga akan berubah sebagai respons terhadap musik, sehingga mencerminkan atau memunculkan perubahan dalam emosi, suasana hati, dan tindakan. Dalam menciptakan sebuah adegan, Appia menganggap cahaya seperti sebuah  musik visual dengan cakupan ekspresi dan intensitas yang sama.

Dari sudut pandang teknis, pemanfaatan tenaga listrik memberi pengaruh besar pada desain panggung dan teknik-teknik produksi pemetasan teater. Pencahayaan panggung yang terencana sebagai lawan dari penerangan panggung biasa,  mampu meningkatkan derajat bentuk seni dan merevolusi dekorasi, desain dan bentuk panggung.

Untuk pertama kalinya sejak teater pindah ke ruang tertutup sejak jaman Renaissance, pencahayaan memadai dan aman menjadi niscaya. Tetapi di luar sekedar fungsi dan keamanan,  media itu mempunyai kelenturan dan kehalusan yang membuatnya menjadi bagian bagian integral efek pemanggungan dan meningkatkan ekspresi visual untuk tujuan artistik.

Di luar pengembangan pencahayaan panggung serta teori dan teknik yang dipelopori oleh Appia dan Craig, listrik memberikan solusi bagi banyak masalah yang muncul sehubungan dengan perubahan (pergantian) adegan dalam pemanggungan.

Photo by Mattias Karlsson on flickr

Tuntutan untuk perubahan yang cepat dari kerumitan set natural bertemu dengan tuntutan untuk “dematerialisasi” panggung. “dematerialisasi” panggung bertujuan agar berjalannya tampilan simbolis satu ke simbolis lain bergerak dengan lancar.

Selain itu, mereka yang ingin melakukan pembaharuan juga menginginkan sebuah perubahan adegan dapat dilakukan secara sederhana dan cepat dalam panggung terbuka.

Penemuan dan instrumen baru yang praktis banyak dirancang dari hasil gagasan para teoritikus. Temuan-temuan yang ada banyak diadaptasi oleh desainer, sutradara, dan insinyur panggung di Barat dan sebagai pusat inovasi terbesar adalah Jerman. (yem)


Rabu, 10 April 2019

4 Tips Acting yang juga Bermanfaat untuk Kehidupan

Tip-tip berikut tidak hanya untuk aktor kawakan atau pemula. Bahkan Anda  tidak biasa tampil di panggung atau di depan kamera pun bisa menerapkannya. Beberapa aturan untuk acting yang sukses (berdasar tehnik Practical Aesthetics) ini bisa diterapkan untuk meraih kehidupan yang sukses.

Photo by Andrei Lazarev on Unsplash

1. Melampaui kesadaran diri dengan berkonsentrasi pada orang lain

Dalam berbagai tingkatan, semua manusia memiliki kecenderungan memikirkan diri sendiri. Jika kita terlalu asyik pada diri sendiri dan kita hanya fokus pada apa yang orang lain pikirkan tentang kita, maka hal itu bisa mengakibatkan kejengkelan hingga kecemasan yang melumpuhkan. Salah satu aturan dalam seni peran (acting) adalah melepaskan kesadaran diri (self-consciousness) yang mengarah pada perhatian pada diri sendiri. Acting buruk sering terjadi karena aktor tenggelam dalam self-consciousness. Kita bisa mengenali aktor yang hanya peduli dengan penampilan atau ia hanya memamerkan vokalnya. Hal tersebut mengasingkan aktor dari penonton dan aktor kehilangan kredibilitas.

Aktor dapat menghindari jebakan itu dengan jalan ia mengalihkan perhatian pada hal lain. Sebaiknya ia merespon apa yang dia lihat dan fokus pada reaksi rekan main. Sekadang aktor sering lupa bahwa dia sedang acting dengan jalan ia meletakkan semua fokus pada orang lain. Tujuan aktor di atas panggung tercapai, jika ia merespon orang-orang sekitar.

Jika kita sedang melakukan pitching (pengajuan ide) pada klien dalam sebuah pertemuan atau kita membujuk seorang teman, maka kita harus konsentrasi penuh pada orang lain dan kita memperhatikan respon mereka. Hal demikian akan membuat kita tampak lebih baik daripada fokus pada diri sendiri.

2. Fokus pada apa yang Anda bisa kendali, bukan apa yang Anda tidak bisa kendali.

Sekadang orang tidak bisa mengedalikan emosi, tetapi dia bisa mengendalikan tindakan. Meskipun kita khawatir apakah kita bisa atau tidak melakukan pekerjaan saat magang kerja atau bekerja, tetapi kita bisa fokus dengan segala usaha yang kita terapkan. Meskipun para eksekutif tidak dapat mengendalikan perilaku para karyawannya, mereka dapat menetapkan sebuah contoh bagus dan merawat sebuah lingkungan yang baik.

Dalam kelas, Scott Zigler selalu menekankan bahwa “indikasi” adalah sebuah tanda acting buruk. Dalam menyaksikan sebuah pertunjukan, kita bisa sangat mudah mengenali apakah aktor benar-benar marah atau hanya berusaha bertindak marah (“indikasi” marah). Untuk menghindari hal ini, aktor butuh melepaskan diri sendiri dari pikiran bahwa dia membutuhkan melakukan sebuah emosi tertentu. Dia tidak bisa mengendalikan reaksi emosi dan mengatakan pada diri sendiri sendiri bahwa ia “merasa” marah. Hal ini akan terlihat seperti kepura-puraan. Namun, tindakan yang dia ambil dan cara dia merespon pada berbagai karakter (tokoh) ada dalam kendalinya. Hal ini bukan usaha untuk tampil marah, tetapi tindakan dan fokus dia pada karakter (tokoh) di mana dia berinteraksi yang akan menyebabkan dia marah.

3. Temukan hal simpatik tentang tokoh jahat

Sangat perlu untuk memainkan peran tokoh jahat dengan sukses. Jika Anda memerankan tokoh jahat dalam sebuah lakon, maka sangat menarik jika Anda bisa menemukan sesuatu yang simpatik tentang tokoh Anda. Adalah tidak mungkin memainkan sebuah karakter jika Anda hanya melabelinya sebagai orang gila atau jahat. Sebaliknya, Anda harus terhubung dengan karakter yang Anda mainkan dari sudut pandang tokoh itu. Tokoh yang dianggap jahat itu percaya bahwa tindakan-tindakan mereka benar. Bahkan mereka bisa tidak menyadari bahwa mereka salah. Hitler mengira bahwa ia menyelamatkan Jerman.

Photo by Francesco Ungaro from Pexels

4. Bukan apa kata Anda, tetapi bagaimana Anda mengatakannya

Saya sering menjadi frustasi selama latihan ketika saya merasa bahwa dialog pada naskah aneh atau di luar tokoh. Bagaimanapun, aktor yang baik tidak bergantung dan mengandalkan kata-kata dalam naskah. Dialog dalam naskah hanya sarana seorang tokoh mencapai tujuan. Kata-kata tidak sepenting nada suara, perubahan suara, dan bahasa tubuh. Kata-kata “aku cinta padamu,” dapat digunakan pada seseorang dengan makna: “Saya peduli padamu,” atau “Aku berusaha membawamu keluar dari kamar”. Manusia bisa mendeteksi tanda-tanda emosi sekecil apapun –dari suara yang menunjukkan kekhawatiran hingga kecemasan dari pola bernafas seseorang. Kita jangan sampai dikekang oleh naskah, tetapi kita harus menyadari pesan-pesan –tersembunyi di balik kata-kata yang ada.

Dalam kehidupan nyata atau panggung, sangat penting membiarkan kesadaran diri dan fokus pada yang ada di sekeliling kita. Satu kali saat Anda kencan, berhenti berpikir bagaimana penampilan Anda dan fokus pada seseorang yang cantik di depan Anda. Kita tidak dapat mengedalikan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, tetapi kita bisa mengendalikan tindakan-tindakan dan respon-respon kita. Anda mungkin berpikir bahwa kehidupan Anda akan lebih baik tanpa rekan kerja atau bos, tetapi cobalah masuki pikirannya dan lihat bagaimana mereka memandang dunia ini. William Shakespeare berkata “Dunia ini panggung sandiwara.” Jika itu masalahanya, maka kita mungkin bisa sebagus aktor di pertunjukan kehidupan besar ini. (ye)

Sumber: https://www.huffpost.com/entry/acting-for-stage-is-actin_b_2846846

Kamis, 14 Maret 2019

Dramatic Reading dan Hal-hal Dasar

Dramatic reading pada dasarnya adalah penyampaian tafsir karya seorang pengarang pada pemirsa yang dilakukan dengan membaca dan bukan menghafal. Seorang pembaca mengkomunikasikan makna yang disertai emosi pada pemirsa. Semua itu dilakukan tanpa properti, kostum, tata cahaya, tata suara atau perangkat pendukung pementasan lain. Pembaca mengasumsikan identitas seorang tokoh dan ia memotret aspek-aspek dramatik, seperti fisik dan emosi tokoh bersangkutan dan suasana.
Penyajian sebisa mungkin menghindari penggunaan sound FX atau musik eksternal kecuali sangat dibutuhkan pada bagian-bagian tertentu. Jika ada beberapa tokoh dalam sebuah naskah, maka bisa ditunjukkan oleh perubahan suara, gesture, dan postur untuk masing-masing tokoh. Selain itu perlu diingat bahwa jika ada lebih dari satu pembaca, maka tidak ada kontak fisik dan mata dalam sebuah lakon.

Penafsiran pembacaan mulai dengan sebuah pemahaman bahan-bahan secara baik.
Pembaca perlu melakukan analisa dan study terhadap karya yang ia sudah pilih. Pembaca terus menggali pemikiran apa yang terkandung dalam karya itu. Barulah pembaca bisa mengambil kesimpulan tema dari keseluruhan isi karya itu atau hal dominan apa yang ingin pembaca sampaikan. Pembaca mencoba membayangkan dan memvisualkan setiap kata sehingga semua itu membantu pembaca mengkaitkan pengalaman dan karya yang dibaca.

Pambaca perlu memikirkan apa yang akan menjadi pembuka penyajian.  Pembukaan yang baik bertujuan untuk meraih perhatian pemirsa, membangun panggung untuk pembacaan dan point of view, konteks cerita dan lain sebagainya. Pembaca juga harus menjelaskan pilihan karya yang diambil, judul, dan siapa pengarangnya. Bahkan jika perlu pembaca menjelaskan konteks dan peran setiap tokoh. Pembaca juga tidak lupa membangun transisi yang baik antara bagian (babak) satu dengan yang lain.
Foto: https://www.kotajogja.com/6034/dramatic-reading-teater-gandrik-orde-tabung/
Pembaca yang baik harus memiliki disiplin latihan yang baik. Pembaca melakukan pembacaan karya secara keras untuk kelancaran dan kesinambungan isi cerita. Pembaca bisa menjaga pikiran dan perasaan demi mempertahakan keutuhan cerita. Bila perlu pembaca menghadirkan penonton (walau sedikit) saat dia melakukan latihan membaca cerita.

Suara adalah modal penting bagi seorang pembaca. Ia menciptakan sebuah atmosfer atau konteks cerita dengan suaranya. Agar pembaca membaca naskah secara ekspresif, maka ia menggunakan beragam perangkat vokal. Ia menciptakan perbedaan berbagai karakter, perkembangan aksi, dan indikasi emosi dengan vokal berkualitas. Oleh karena itu, irama, langkah, dan nada termasuk pause dan spasi yang efektif untuk kata-kata perlu menjadi perhatian.(ye)

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...