Kamis, 27 Juli 2017

NONTON KENTRUNG DI TULUNGAGUNG


Rekor penonton seni kentrung pecah tahun 2008, saat Mochammad Samsuri manggung tunggal di pentas Demak Art Festival di Tembiring, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Ketika itu ribuan penonton asyik menyimak gaya Samsuri bertutur tentang Syaridin alias Sheikh Jangkung. Alkisah, Sheikh Jangkung lahir di Desa Landoh, Tayu, Pati. Sheikh Jangkung diperkirakan hidup semasa Sunan Muria atau Raden Umar Said menjadi penyebar agama Islam. Dia punya karomah yang disegani pada zamannya. Dia menyebarkan Islam hingga ke Sumatera. (Kompas.com - 04/09/2009)

Petikan berita itu mungkin menggambarkan sisa-sisa kejayaan seni teater tutur tradisional itu. Kentrung memang sarat muatan ajaran agama dan moral, tetapi penampilannya kian tampak “lawas” disandingkan bentuk-bentuk tontonan masa kini. Sebagaimana penampilan Samsuri sendiri setiap kali hadir di hadapan penonton. Pria kelahiran Bintoro, Demak, Jawa Tengah tahun 1949 ini menggunakan reban warisan sang ayah setiap kali manggung. Bunyi rebana-rebana itu tak lagi sebagus seperti bertahun-tahun lalu karena alat musik itu sudah rusak. Tiga jenis rebana (terbang), yaitu ketipung (kecil), kemplang (sedang) dan jedur (besar) memang sudah kelihatan menua.

Begitulah nasib kentrung sekarang. Tidak hanya di Demak,  daerah-daerah Pantai Utara lain di mana menjadi tempat penyebaran kentrung mengalami nasib sama. Baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, Jika masih ada seni kentrung di daerah-daerah, seperti Demak, Blora, Kudus, Blitar, Tulungagung, maka dipastikan para pendukungnya rata-rata sudah sepuh. Tetapi beruntung ada sedikit anak-anak muda (mungkin generasi millennial yang didukung generasi X hehehe) masih mencoba setia ngentrung dan mereka juga bikin acara untuk itu bulan Agustus 2017 ini.

Sejumlah anak muda yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Blero  Universitas Negeri Malang dan  Sanggar Seni Kentrung Gedhang Godhog Tulungagung menggelar serangkaian acara bertajuk “Kampung Seni Ngingas 1” pada tanggal 5 Agustus 2017.  Dua kelompok seni pertunjukan yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa tersebut memang menggeluti seni kentrung selama ini. 

Kontak info: FB: Yayak Gedhang Priasmara; IG: y_priasmara

Selasa, 25 Juli 2017

TEATER SMA DAN PENTAS DRAMA "NGEDHUR" 24 JAM

sumber: http://performingarts.reviews/wp-content/uploads/2015/12/Charlie-Brown-11.jpg
Menandai sekaligus merayakan kesenian dengan melakukan aktifitas ngedhur alias non-stop bukan asing kita dengar.  Paling tidak kita akrab dengan Hari Tari Dunia yang dirayakan dengan 24 jam menari di mana-mana. Saya tidak pernah membayangkan untuk teater hingga, ada kabar dari anak-anak SMA Crater, Oregon, AS. Mereka  melakukan hal menarik berkait dengan kegiatan ekstrakurikuler drama di sekolah mereka. Mereka menciptakan peristiwa teater yang cukup spektakuler untuk ukuran anak SMA (mungkin juga bagi kita “alumni” SMA yang ada di sini). Anak-anak yang tergabung dalam kegiatan drama sekolah melakukan proses hingga pertunjukan sebuah karya lakon dalam waktu 24 jam.
sumber: http://jacksonvillereview.com/wp-content/uploads/2016/01/7-Plays-24-Hours-Final4.jpg
Kegiatan tersebut mulai pukul 8 malam hari Jumat, 5 Februari 2016 hingga layar dibuka pada pementasan pada pukul 8 malam hari Sabtu, 6 Februari 2016 di Crater Performing Arts Center. Mereka terdiri dari 10 penulis, 27 aktor, dan 7 sutradara.  Anak-anak SMA tersebut bekerja sepanjang malam menggarap 7 gagasan pertunjukan teater.  Masing-masing lakon itu terdiri dari satu babak dan keseluruhannya disusun, ditulis, dimainkan dan diproduksi oleh anak-anak SMA Crater dalam waktu 24 jam.
Pengamat seni pertunjukan teater Lee Greene mengaku bahwa hasil 7 pertunjukan tersebut sangat menarik dan menghibur dan lumayan nyleneh (eksentrik). Ia melihat dan merasakan bahwa gagasan kreatif itu hadir dari anak-anak SMA yang berani membebaskan dan melepaskan imajinasi mereka berjalan liar. Sebuah situasi yang bisa jadi juga dipicu oleh perpaduan keadaan kurang tidur dan dikejar batas waktu menuju pementasan pukul 8 malam hari Sabtu. Mereka harus tampil,baik siap atau tidak siap!
Uniknya lagi, untuk pertunjukan ke-8 (selain 7 garapan anak-anak) ternyata digagas oleh si kepala sekolah yang bernama Bob King. Sedangkan sosok yang mengerjakan dan mengelaborasi gagasan tersebut adalah guru drama bernama, Matthew Reynolds. Ia bertindak sebagai sutradara pertunjukan ke-8 itu. Sehingga setelah ke-7 pertunjukan karya anak-anak SMA itu selesai, maka ke-7 sutradara pertunjukan tersebut berganti peran sebagai aktor. Mereka bermain untuk pertunjukan ke-8 yang disutradarai oleh Reynolds. Lee Greene menambahkan bahwa apa yang dikerjakan oleh anak-anak SMA Crater ini adalah sebuah karya teater orisinil yang menghibur. Ia sangat mengapresiasi peristiwa pertunjukan tersebut.
Saya tidak tahu apakah teman-teman teater bakal tergoda melakukan hal serupa pada Hari Teater Dunia kelak atau pada perayaan teater lain. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Kegiatan ngedhur semacam ini memang cuma dilakukan di bidang kesenian saja. Beberapa sayembara misalnya untuk mendapatkan mobil juga memakai pola serupa. Tetapi jika teater mengambil pola ini ngedhur berkarya macam ini, tidak masalah. Asal jelas konsepnya, apakah untuk sensasi, hiburan, atau pencapaian artitistik lain. 

Kamis, 13 Juli 2017

CHARLIE CHAPLIN, MR. BEAN DAN PANTOMIM

source: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/10/Chaplin_Karno_advert.jpg/220px-Chaplin_Karno_advert.jpg
Fred Karno adalah nama panggung. Nama “Karno” di sini bukan nama Jawa dan saya tidak punya catatan gimana nama itu dipakai. Nama asli Fred Karno adalah Frederick John Westcott, kelahiran Inggris, 26 Maret 1866. Dia adalah komedi slapstick yang popular pada jamannya. Dia kondang dengan ciri dagelan “ndublag roti (pai) pada lawan main”. Pada tahun 1890an, Karno membuat pertunjukan komedi sketsa tanpa dialog. Itu semua demi menghindari sensor panggung (cukup menarik bahwa waktu ada badan sensor pertunjukan panggung). Karno ini masuk sebagai tokoh dalam sejarah film komedi bisu. Bahkan orang Hollywood menyebutnya sebagai pelopor film komedi bisu. Sutradara Hal Roach menyebut bahwa Karno ini adalah orang yang melahirkan bentuk komedi slapstick. Selain itu, kebesaran Charlie Chaplin juga tidak bisa lepas dari peran Karno.  
Charlie Chaplin bergabung dengan kelompok pantomime milik Karno ini pada tahun 1908.  Aktor kelahiran London, 16 April 1889 ini menjadi salah satu bintang dalam lakon sketsa komedi dalam lakon A Night in an English Music Hall. Bareng dengan rombongan Karno inilah ia merasakan ngidak lemah Amerika Serikat pertama kalinya. Di negeri Paman Sam ini, Chaplin memulai karir di film dengan kontrak pertama sebesar $150 per minggu (kira-kira rong juta rupiah).
Orang Hollywood bisa menyebut Karno membidani komedi slapstick comedy, tetapi bekas cantriknya si Chaplin mendapat julukan master of slapstick comedy. Karno sempat juga sempat ngicipi dunia film di Amerika, tetapi  tahun 1936, ia memilih pulang kampung dan berteater kembali di Inggris. Sedangkan, Chaplin bablas mereguk nikmat dunia film di Amerika. Ia lebih memilih film ketimbang panggung. Dilalah industri film Amerika sedang giat-giatnya bikin banyak produksi. Chaplin menemukan “panggung” barunya, yaitu film.
source: https://media1.britannica.com/eb-media/76/133576-004-E4A6615A.jpg
Setelah Chaplin, belakangan muncul Rowan Atkinson. Komedian asal Inggris ini kondang lewat karakter uniknya, yaitu Mr. Bean. Sebelumnya, Rowan adalah pengasuh sebuah acara radio yang seratus persen menggunakan cangkem dan swara! (bisa dibayangkan bagaimana sekarang, ia total tidak nyangkem dan hanya ngobahake awak).
Gaya dagelan dua komedian asal Inggris ini mampu menjangkau publik yang luas. Selain karena dukungan tehnologi media (televisi dan film), mereka menggunakan bahasa yang universal: tubuh. Bahasa yang mereka gunakan melintasi batas pengguna bahasa apapun.  Chaplin dan Rowan mempengaruhi industri hiburan di manapun, bahkan bagi pertunjukan yang “non-industri’ seperti pantomim. 

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...