Selasa, 18 April 2017

PENTAS TEATER DI HINDIA BELANDA DAN PESTA GILA

Sejarah teater Eropa di Hindia Belanda dimulai di kastil yang dikelilingi benteng VOC di Jayakarta (saiki Jakarta) pada 1619.  Sejumlah pegawai kompeni dengan beragam latar belakang membuat produksi yang konon pertama di Asia, yaitu Hamlet karya William Shakespeare saat itu. Peristiwa itu terjadi seusai pertempuran dengan pasukan yang loyal pada Perusahaan Dagang Inggris India Timur (saingan VOC) selama lebih empat bulan yang kemudian menghantar Pangeran Wijayakrama menjadi Sultan Ranamanggala di Banten. Gabungan  prajurit, pedagang, dan budak di benteng VOC itu mengubah gudang menjadi tempat pertunjukan teater. Soal ngowahi gudang jadi gedung teater ini ternyata adalah semangat yang dipelihara hingga kini, bagi orang-orang teater terutama yang nggak kuat nyewa gedung teater representatip, biasanya mereka sulap ruangan apa saja jadi panggung  hehehe.  

Sebanyak 350 pegawai kompeni menghadiri pertunjukan itu. Tetapi sebuah pendapat menyebut bahwa sebenarnya orang Belanda hanya setengah dari seluruh yang hadir dalam peristiwa kesenian itu. Sekitar seperlima dari jumlah itu adalah para budak. Selanjutnya para pemilik budak dan sejumlah gundik pribumi, orang-orang Asia merdeka dan budak; para pedagang Eropa, para penghuni tetap, beberapa tentara, pembuat kapal, tukang kayu, pembuat layar, dan tukang ahli lainya. Sedangkan orang Eropa lain adalah orang Jerman, Perancis, Sckotlandia, Inggris, Denmark, dan Belgia.

Sebagaimana laporan yang tertulis di jurnal, peristiwa itu sangat gaduh dan kisruh. Biarpun mereka mementaskan naskah Hamlet tapi itu dalam rangka seneng-seneng. Bagi kita jaman sekarang bikin produksi Hamlet pasti sudah menguras harta dan tenaga dan bikin kepala pening, ya sutradaranyaa, aktornya dan kru panggung gedandaban. Jadi nonton pentas Hamlet adalah sebuah hiburan. Bahkan acara seusai pementasan tak kalah gayeng. Mereka mengadakan pesta sesudah tontonan rampung. Benteng menjadi tempat pesta yang menyenangkan bagi perangkat pertunjukan dan penonton. Mereka bisa bermain musik, menyanyi, menari sambil dem-deman bersama. Acara bersenang-senang semacam itu rupanya biasa diadakan seusai pementasan teater.

Orang bernama De Jonge mempunyai catatan menarik perihal pesta pasca pentas teater semacam itu. Sebuah lakon berjudul the King of Denmark and the King of Sweden berlangsung di aula pada  suatu hari Senin sore bertepatan Hari Paskah. Setelah pementasan itu usai, para pemain menikmati makan malam (ini mungkin semacam lambaran biar perut siap jika kelak kemasukan arak). Mereka melanjutkan acara penuh kegembiraan sampai larut malam. Orang-orang kulit hitam  diijinkan memainkan alat-alat musik(maklum saja karena biasanya mereka yang dianggap budak dibatasi polahnya). Semua orang seolah merasakan hidup di sebuah wilayah bebas dan merdeka, walau dalam ruang yang dikelilingi tembok alias benteng. Para lelaki yang sudah mabuk mulai mbribig sitik-sitik para perempuan. Mereka saling menggoda dan tergoda yang menjurus pada perbuatan intim. Keadaan tanpa kendali siapapun, karena baik yang pangkatnya juragan sampai jongos sudah dikuasai oleh arak.

Pesta gila dan gaduh semacam bukan hal aneh pada masa itu karena tidak hanya terjadi pada acara berkaitan teater. Sebuah lembaga pengadilan yang berdiri pada 1617 sudah sering mendengar kasus-kasus pembangkangan, penistaan, percekcokan, dan kemabukan. Jurnal Belanda di atas juga melaporkan bahwa orang-orang Belanda sering mengadakan pesta gila-gilaan pada malam hari. Mereka sering mengadakan pesta dengan gaduh dan liar saat merayakan pernikahan antara pembantu-pembantu kompeni dengan “para wanita kulit hitam.”  Sehingga tidak mengherankan kalau M. C. Ricklefs menggambarkaan bahwa para kaum kolonial adalah orang-orang yang suka menghabiskan waktu untuk pesta pora  dengan melanggar susila dan sekaligus mereka suka berdoa.”

Puji syukur, kita semua adalah anak-anak teater yang tertib menjalankan tugas teater. Tidak mewarisi kebiasaan landa macam itu. Kegembiraan kita kini paling hanya foto selfi dan wefie setelah sukses manggung. Hmm.

Senin, 17 April 2017

MUSIK BERKELAS DI AWAL MEI 2017


Gon Gun a.k.a. Gondrong Gunarto lahir di Ngawi pada tanggal 20 Agustus 1974, Pemusik yang akrab di panggil "Gondrong" menemukan gaya bermusiknya sejak belajar di jurusan Karawitan di ISI Solo. Selain menghasilkan sejumlah komposisi musik, Ia juga banyak mengerjakan penggarapan musik untuk beberapa komposisi tari. Komposer, pemusik, kritikus, dan dosen I Wayan Sadra (alm.) menjadi sosok guru, rekan kreatif, dan sahabat bagi penggiat program Bukan Musik Biasa ini. Gon Gun dan Sadra tergabung dalam kelompok musik Sonoseni Ensemble

Ia baru saja memukau penonton di Rounhouse, Camden, London, Inggris (1/2/2017).  Komposer dan musisi kelahiran Sine, Ngawi , Jatim ini menunjukkan kebolehannya dengan permainan seruling bernuansa Jawa dan Sunda. Susheela Raman dan Sams Mills menggandeng seniman ini bersama sejumlah musisi India. Garapan mereka tersaji lewat tajuk Ghost Gamelan Orchestra.

Rabu, 12 April 2017

PASAR SENEN DAN SEJARAH TEATER INDONESIA

sumber: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/04/25/357031/670x335/ini-asal-usul-pasar-senen.jpg
Pasar Senen menjadi tempat berkumpul para seniman yang masih dijangkiti rasa nasionalisme pasca kemerdekaan. Wilayah ini berjarak beberapa kilometer berada di sebelah Tenggara kota VOC lama. Gubernur Jenderal (Perancis), Herman William Daendels (1808-1811) memindahkan Batavia ke daerah baru ini karena menghindari nyamuk malaria dan ia membayangkan tempat ini menjadi sebuah pusat kota baru yang lebih republik, bukan bergaya feodal.

Tahun 1950an,  para seniman yang sering nongkrong di kawasan Pasar Senen adalah bagian dari pemuda-pemuda yang datang dari seluruh pelosok negeri yang baru saja merdeka. Mereka semua menjadikan bekas pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda ini sebagai ruang untuk meraih dan menciptakan segala kesempatan yang tidak tersedia di desa-desa dan daerah asal masing-masing.
Jurnal Sastra Aneka mengumpulkan seri ilustrasi-ilustrasi pendek dengan tajuk Keajaiban Pasar Senen pada tahun 1971. Misbach Jusa Biran sebagai penulis yang memotret kelahiran kegiatan seni budaya poskolonial tersebut.

Sebelum  TIM merebut kekuasaan tempat ini pada tahun 1968, Pasar Senen menjadi sebuah titik temu untuk segala kebersamaan. Para seniman memiliki tempat leyeh-leyeh dan udad-udud alias nongkrong ceria di Restoran Ismail Merapi. Di tempat tersebut, para Seniman Senen bisa minum kopi dan berdebat soal filsafat maupun estetika (sepeteri digambarkan dalam novel “Keajaiban Pasar Senen” karya Misbach Jusa Biran). Menurut Misbach, sebagian dari mereka inilah memiliki keinginan membuat ‘teater’. Ketika mereka menggunakan kata itu, mereka belum pernah mebicarakan genre-genre pertunjukan yang sudah dipelajari oleh para etnografer. Mereka juga tidak berpikir tentang Lenong Betawi atau genre lokal lain. Makna ‘teater’ bagi Seniman Senen adalah sebuah genre baru yang terpisah dari tradisi desa dan juga pertunjukan komersial era kolonial. Poko’e teater!


Dicuplik dari: Indonesian Postcolonial Theatre by Evan Darwin Winet

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...