Selasa, 12 September 2017

DALANG KENTRUNG RATI DAN LAKON SARAHWULAN


Lakon Sarahwulan memiliki kemiripan dengan kisah Joharmanik. Saripan Hadi Sutomo merekam kembali perbandingan perbedaan kedua lakon itu dalam buku Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Sarahwulan menjadi cerita yang dikenal masyarakat lewat bentuk seni teater tutur, kentrung. Dalang yang memiliki kekhususan menyampaikan cerita itu adalah Rati. Tidak ada dalang kentrung lain di luar Tuban yang menyajikan lakon Sarahwulan. Sebaliknya, beberapa dalang kentrung tersebut meembawakan lakon Joharmanik.
Rati sebagai dalang perempuan menyukai membawakan lakon tentang perempuan: Sarahwulan. Di sisi lain, masyarakat Tuban pada masanya juga menyukai lakon itu. Konon, Sarahwulan berangkat dari cerita dalam wayang gedhog. Saripan Hadi Sutomo mencatat bahwa lakon Sarahwulan termasuk cerita pakem dari Wayang Gedhog karya Pangeran Adi Wijaya IV dari Surakarta. Jenis wayanag yang kabarnya diciptakan oleh Sunan Giri ini biasanya menyajikan cerita panji  
Rati menjalani hampir seluruh hidupnya sebagai dalang kentrung. Sebagaimana bentuk seni tradisi umumnya, kehadirannya sebagai dalang kentrung karena faktor warisan keluarga. Rati lahir dari sebuah keluarga dalang kentrung. Neneknya, Nyi Basiman adalah dalang kentrung perempuan kondang. Sejak kecil, Rati melihat dan mendengar bagaimana nenek dan anak-anak perempuannya (termasuk, Sukilah, ibu Ratri) terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar kentrung. Hingga pada saatnya, Ratri tampil sebagai pewaris ke-5 dari keluarga dalang kentrung tersebut.
Rati, dalang kentrung asal Desa Bate, Bangilan, Kabupaten Tuban terhitung cukup panjang umur menjadi dalang kentrung. Sebagian orang berkata bahwa Rati mencapai usia seabad, sebelum dalang perempuan ini meninggal dunia pada 30 Juni 2014. Setelah itu, tidak ada dalang kentrung perempuan muncul dari keluarga ini. Apakah kemandegan ini karena generasi di bawah Rati tidak ada yang tertarik mempelajari kentrung? Atau apakah adanya syarat bahwa penerus dalang kentrung harus perempuan? Hal ini mengingat bahwa pemegang mandat tradisi ini adalah perempuan mulai dari Nyi Basiman hingga Rati.
sumber: http://penyuluhbudayabojonegoro.blogspot.co.id/2014/06/
Perempuan agaknya memang punya peran penting dalam sejarah kentrung di Tuban ini. Bukan kebetulan, Desa Bate memiliki kisah asal-usul nama desa yang menokohkan perempuan. Joyo Juwoto, penulis asal Tuban menuturkan bahwa Bate berasal dari nama perempuan Cina bernama Bah Tei. Pedagang jamu ini bersedia dipersunting oleh Mluyo Kusumo, seorang pemimpin berandal di sebuah desa. Bah Tei menyaksikan bagaimana Mluyo Kusumo berhasil mengusir gerombolan perampok dan pencuri yang menyerang desa itu. Bah Tei menganggap bahwa Mluyo Kusumo adalah suami sekaligus pelindungnya. Tetapi saat pesta pernikahan Mluyo Kusumo dan Bah Tei berlangsung, gerombolan itu datang mencuri pusaka andalan desa itu. Sejak itu, desa itu tidak aman karena gerombolan itu selalu menyerang desa tempat Mluyo Kusumo. Bah Tei merasa tidak aman dan ketakutan. Ia memutuskan pergi dari desa itu. Mluyo Kusumo gundah gulana setelah istrinya meninggalkannya. Pemimpin berandal itu mengabadikan nama istrinya sebagai nama desa itu:Bate. 
Kisah Sarahwulan turut surut dalam pelukan Rati di Desa Bate. Ketiganya menjadi sebuah rangkaian tersendiri kisah tentang perempuan. Mereka bisa muncul sebagai kisah baru dan mungkin dengan penceritaan yang baru. Nama-nama itu membawa pencerita dan pendengarnya menjelajah ruang-ruang yang lain. (ye)

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...