Rabu, 13 Mei 2009

Cerpen Y.E. Marstyanto

LELAKI YANG TAK MAU KU TINGGAL PERGI
LELAKI YANG MAU KU PERGI

Oleh Y.E. Marstyanto


Dan malam ini terjadi lagi. Entah malam yang ke berapa. Seperti biasa. Tiga lelaki berkerudung hitam itu tetap saja berdiri tegak. Masing-masing tangan kanannya menggenggam sebilah parang. Wajahnya nampak gelap. Hatinya gelap. Matanya gelap. Mereka menatapkku kaku.

Aku bangkit dari tidurku. Seperti biasa pula, para lelaki itu menghilang entah kemana, ketika aku membuka mata. Aku beranjak ke ruang tengah. Televisi hitam putih masih menyala. Tak pernah sekalipun aku matikan televisi tua itu. Aku tak tahan menatap warna hitam layarnya saat dimatikan. Kegelapan di dalamnya seperti lorong panjang tiada berujung. Sekali aku pernah terseret ke dalamnya. Entah kapan itu. Aku tidak mengingatnya dan aku pun enggan mengingatnya. Aku pernah berdoa kiranya jangan lagi aku terperosok ke sana.

“Ada apa di dalam sana?”
Aku hanya menggeleng kepala.
“Ayolah ceritakan.”
Aku menghela nafas panjang.
”Kemana kegelapan lorong itu berakhir?”
Aku memandangnya dengan helaan nafas yang lebih dalam.
”Ah, mungkin kau tak pernah ke sana. Kau hanya bermimpi pernah ke sana.”
Aku meninggalkan dia begitu saja. Aku tinggalkan pertanyaan-pertanyaan yang itu saja setiap kali bertemu dengannya. Mulanya, aku tak pernah curiga. Tapi kini, aku mengernyitkan dahi memandang sosoknya. Hati dan rasaku mencoba mengais kedalaman rasanya. Siapa dia? Ada apa dia? Apakah aku pernah mengenalnya? Dan adakah yang disembunyikan dengan tangan di balik punggungnya itu?

”Ini sebilah pisau. Ia sangat haus. Tapi rasa dahaganya akan terpenuhi oleh darahmu.”
Tiba-tiba dia berdiri tepat di depanku dengan sebilah pisau terhunus. Kilatan logamnya menyilaukan kedua mataku. Sementara kedua matanya tajam menatap ke arah dua mataku. Pandangannya serasa menembus dada. Jantungku rasanya melambat berdetak. Ada sesuatu yang menggenggam erat. Meremas bikin sekarat. Mau mati rasanya. Ahhhhhhhh!
Aku terbangun membuka mata. Keringat dingin membasuh sekujur tubuh. Sementara di luar, hujan masih turun. Gemericik airnya membangun irama malam ini semakin basah dan sepi. Kalau sudah begini rasa kangenku padamu menjadi mengiris-iris.
”Kangen pada siapa?”
”Padamu.”
Semua diam. Aku diam menanti jawaban. Dia diam tak memberi jawaban.
”Mengapa kamu diam?”
”Hm. Kata itu jadi begitu memuakkan ku dengar.”
”Karena keluar dari mulutku?
”Karena keluar dari mulutmu.”
”Maafkan aku.”

Entah berapa puluh, ratus, mungkin ribu kali kucapkan permohonan maafku. Tetapi dia hanya membisu. Pandangan matanya lurus ke depan. Wajahnya keras. Aku bisa melihat dadanya yang bergejolak. Ada gemuruh di dalamnya. Dada itu seperti perut gunung api yang siap memuntahkan lapisan-lapisan yang menyesak dan menekan.
Tiga tahun lalu aku pamit pergi ke kota padanya. Aku ingin menjajal pekerjaan yang lebih baik di kota. Padahal ketika itu belum seminggu dia melamar aku menjadi istri di depan ibuku yang tergolek lemah di tempat tidur. Ibu mengangguk lemah sambil berusaha tersenyum sebagai tanda setuju. Tapi sakit ibu kian hari kian parah. Tabunganku juga sudah habis. Rumah ini pun telah dijaminkan di bank. Suatu kali dia datang padaku menawarkan bantuan. Dia akan turut bekerja keras mengupayakan keuangan untuk membantu pengobatan ibu. Aku berkeras menolaknya.

”Aku kan bakal calon suamimu?”
”Justru itu bentuk bantuan semacam itu tak bisa kuterima. Kita belum punya ikatan apapun.”
”Baiklah ini bukan pemberian. Ini hutang.”
”Seumur hidupku aku belum pernah berhutang. Aku tak mau mengingkari keputusan hidupku.”
”Sekalipun kau harus korbankan ibumu?”
”Apa maksudmu? Tak akan ada yang menjadi korban karena keputusanku ini. Bahkan ibuku sekalipun. Dia akan baik-baik saja. Dia akan sehat.”
Dia menghela nafas panjang. Wajahnya tertunduk. Dia seolah kehabisan akal untuk melakukan kebaikan kepadaku.
”Lantas apa yang akan kamu lakukan?”
”Aku akan pergi.”
”Demi ibumu kan?”
Aku mengangguk.
”Kau seharusnya tidak perlu pergi. Bukankah semua yang kutawarkan tadi bisa memenuhi apa yang kau harapkan? Kesembuhan ibumu.”
Sepi. Aku diam menggenggam hasrat. Dia diam menanti jawab yang diinginkan. Sunyi. Senyap. Waktu diam. Aku dan dia seolah menjeratnya.
”Baiklah. Pergilah.”
”Dengan maumu atau tidak. Aku pasti pergi.”
”Tapi aku tidak dapat jauh dari cintaku. Aku tak tahan menumpuk kerinduan-kerinduan.”
”Perkataanmu itu pun tak dapat menahan langkahku.”

Akhirnya, dia berpaling meninggalkan aku, seusai mengecup kening ibuku yang tergolek di ranjang. Bukan rasa kehilangan yang menyesak di dadaku. Sekedar sedikit iba melihat harapannya terbang.
*****

Ini malam ke-179 pertemuan kita. Aku dengan sadar menghitung malam-malam pertemuan kita.

”Untuk apa?”
”Untuk membangun kepedihan sebagai bentuk hukuman atas perbuatan kita.”
”Kamu merasa bersalah?”
”Apakah kamu tidak?”

Dia terdiam. Pandangannya menerawang entah kemana. Siapa tahu bayangan atas anak dan istrinya di rumah menyesak di ruang kepalanya. Ah laki-laki! Kau yang senantiasa memenuhi ruang ini dengus nafas dan lenguh suaramu. Kau yang selalu berkeluh tentang kekecewaan dan kekalahan. Kau selalu penuh gairah berkisah tentang kemenangan dan keberhasilan. Kau yang selalu mengulang cerita-cerita lama. Kau yang berbinar menerawang berujar tentang cita-cita. Dan inilah tubuhku. Tempat kau mengawali dan mengakhiri segala yang ingin kau tumpahkan itu.
Ia mengenakan celana dan kemeja yang berserak di lantai. Tak seberapa lama dia telah mematut di depan kaca mengencangkan dasi dan merapikan jasnya.

”Jadi kita harus berpisah sampai di sini.”
”Aku telah terlanjur mencintaimu.”
”Tapi itu ....”
”Tak mungkin bukan? Aku tahu itu.”
”Ya ....keluarga.....”
”Kau bilang pemilihan itu di atas segalanya.”
”Ya.....pemilihan...keluarga....”
Tenggorokannya seperti tersekat sesuatu. Wajahnya datar. Pandangannya kedua matanya entah kemana.
”Kamu sungguh mengerti.”
”Aku terpaksa mengerti.”

Dia menemukanku saat pertama kali aku terdampar di Kota Terkutuk ini. Dulu aku punya mimpi memandang gemerlapnya kota ini. Mimpi tentang rejeki yang mengalir melimpah untuk menyelamatkan ibu yang sedang sakit. Seorang teman yang membawaku bilang mimpiku akan jadi nyata di sini. Setiap ruang di sini menyimpan mimpi-mimpiku katanya. Tinggal pilih ruang yang mana. Aku gadis kampung yang bingung dan silau memandang gemerlap sinar di mana-mana. Tak tahu arah dan ruang mana yang harus dituju. Oleh karena itu kubiarkan teman tadi menuntun aku ke ruang yang ia mau.

”Pakailah ini.”
”Pakaian ini?”
”Aku sudah berpakaian.”
”Pakaian itu tidak akan menghantarkanmu meraih mimpi-mimpimu itu.”
”Bukankah baru besok pagi saat aku pergi bekerja mimpi-mimpi itu mulai kuraih?”
”Tak usah tunggu hari esok. Semuanya dimulai malam ini.”
Aku terpaku. Ketakmengertian menyergapku. Kepalaku bertanya. Tanganku bertanya. Dadaku bertanya. Perutku bertanya. Kakiku bertanya. Kebingungan yang mengalir di aliran darahku dan berdetakan di nadi.
”Aaa, begini lebih cantik bukan? Nah, sekarang selamat menggapai mimpi-mimpimu.”
”Aku mulai bekerja sekarang?”
”Menggapai mimpi-mimpimu.”
”Tapi....”

Dia. Lelaki berjas rapi. Tubuhnya wangi. Wajahnya bersih. Menyapaku lembut sambil menanggalkan satu-persatu yang dikenakan. Lalu tangannya menggapai pakaianku. Aku berteriak. Aku berontak. Aku menangis. Aku tak berdaya. Aku lemah. Aku kalah. Dan sejak malam itu kota ini kunamakan Kota Terkutuk. Kota Terkutuk yang kemudian mengalirkan mimpi-mimpi untuk ibuku yang tergolek lemah di rumah. Kota Terkutuk yang membuat tubuhku sekedar jadi santapan birahinya. Tapi tak lama setelah itu. Entah kapan itu. Aku pun juga bisa merasakan dia sebagai hidangan syahwatku. Aahhhh! Kemudian. Tidak tahu. Entah bagaimana mulanya. Tiba-tiba saja ada rasa yang terbit di antara aku dan dia. Cinta. Sesuatu yang tak tertahankan lepas di antara tubuh berpeluh di malam-malam yang berjalan.

”Bagiku kamu bukan pelacur.”
”Aku kekasihmu. Aku pun menganggapmu begitu. Ah, seandainya menjadi orang nomor satu di Kota Terkutuk ini tidak lebih penting dari cinta kita.”
”Seperti kamu. Aku pun juga mempunyai mimpi.”
”Tapi mimpimu itu menghanguskan mimpiku.”
Dia hanya tertunduk sambil duduk di bibir ranjang. Dia tak sanggup berpaling ke arahku yang sedang menatapnya dengan erat. Aku bangkit berdiri menata rambutku sejenak di muka cermin dan menggamit tas tanganku lalu melangkah pergi.
”Maafkan aku. Lupakan saja aku.”
Aku tersenyum. Ah, bagaimana aku dapat begitu saja melupakan dia jika beberapa bulan ke depan, aku akan begitu banyak melihat wajahnya terpampang di seluruh kota terkutuk ini. Pada sepanduk-sepanduk, selebaran-selebaran, televisi, koran dan majalah. Dan namanya akan selalu terdengar dari teriakan kerumunan orang yang meneriakkan namanya di lapangan-lapangan dan gedung-gedung pertemuan.
”Tidak ada yang tidak salah. Untuk apa saling memaafkan. Toh, kita berdua niatkan peristiwa terkutuk ini. Dan biar saja kalau kita tidak bisa saling melupakan. Rasa bersalah itu biar jadi hukuman seumur hidup kita.”

Satu saja yang ku ingin kini. Tinggalkan Kota Terkutuk ini. Temui ibu dan memeluknya. Biar saja air mata tertumpah di pangkuannya. Tapi aku tak akan membiarkan ibu melihat kepedihan di baliknya.
*****

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...