Kamis, 04 Oktober 2018

KAMPUNG SENI NGINGAS #2




Sama seperti halnya KSN #1, Kampung Seni Ngingas #2 ini digelar karena kecintaan warga dusun Ngingas dengan kesenian terutama seni tradisi. Bahkan di dusun ngingas sendiri telah lama memiliki beberapa grup kesenian yang bernafaskan tradisi yakni Sanggar Jaranan Turonggo Putro Setyo Budoyo, Grup Mocopat dan Karawitan, Grup Leang-leong, dan Sanggar Seni Gedhang Godhog yang bergerak di bidang kentrung dan teater (+ sekarang sastra dan tari)

Gagasan tema KSN 2 "luapan rasa kaum pecinta dongeng" ini tercetus karena memang Sanggar Seni Gedhang Godhog (yg masih dipercaya sebagai konseptor acara) sangat akrab dengan dongeng,,,

dan kami merasa budaya mendongeng di masyarakat semakin pudar, padahal pesan moral di dalam dongeng, baik dongeng jawa/kuno, maupun dongeng2 anak (kancil, dll) masih sangat dibutuhkan untuk menangkal pengaruh buruk globalisasi yg menggerogoti mental anak dan remaja.



Harapan kami, dengan pentas dongeng, lomba dongeng, dan sarasehan budaya bertema dongeng yg kami gelar ini mampu memupuk kembali budaya mendongeng di masyarakat. paling tidak di skup wilayah kecil dusun kami tercinta ini.

kontak: Yayak Priasmara; FB: Yayak Gedhang Priasmara; IG: y_priasmara



Selasa, 28 Agustus 2018

TEATER AMATIR VS TEATER PROFESIONAL

sumber: www.flickr.com/photos/152722188@N06/33377330235/in/photostream/
Perdebatan antara pengusung semangat teater professional dan teater amatir menggema pada tahun 1917 di Amerika Serikat. Kelompok amatir melontarkan kritik mereka pada kelompok profesional: Mereka menganggap kelompok profesional terlalu komersial sehingga kehilangan idealism.

Oleh karena itu, mereka (kubu amatir) melontarkan seruan dan gerakan demi membangun “kemurnian” dan “kesucian” teater. Tulisan berjudul What We Stand For di Theater Arts Magazine Volume 1 No. 4, Agustus 1917 mengungkap hal itu.

Gerakan itu memperjuangkan penciptaan sebuah teater baru di Amerika Serikat. Sebuah teater di mana seni dan bukan bisnis yang jadi pertimbangan utama. Mereka mendorong munculnya kelompok-kelompok eksperimental. Di satu sisi, mereka juga mendorong proses profesionalisme secara bertahap bagi kelompok-kelompok teater kecil dan rumah-rumah pertunjukan besar.

Mereka ingin mewujudkan sebuah bentuk profesionalisme baru, di mana semangat amatir bisa dikombinasikan dengan dengan pengalaman mumpuni dari teater-teater mapan (yang juga memiliki rumah-rumah pertunjukan).

Gerakan ini mendorong para amatir, sekaligus kelompok-kelompok professional. Kelompok terakhir ini diharapkan memperbaharui konvensi-konvensi yang berlaku di gedung-gedung mereka, di mana mereka dianggap telah kehilangan arah akibat komersialisasi.

Gerakan ini memperjuangkan sebuah sudut pandang baru dalam pengembangan seni teater. Naskah-naskah lakon yang bagus, atau acting yang menginspirasi, atau setting yang bagus seharusnya tidak berhenti bagi masing-masing kubu. Sebalikna semua itu menjadi kontribusi untuk kesatuan yang lebih besar. Sebuah perpaduan atau harmoni dari bentuk-bentuk seni teater untuk menjadi suatu bentuk baru.

Oleh karena itu, demi pengembangan seni yang lebih baik semacam itu, jikalau perlu harus dibangun sebuah komunitas  artis-sutradara yang baru. Jika perlu ada perjuangan  penghilangan sistem bintang dalam acting, dan bagi pergantian (pertukaran) unsur-unsur yang sebelumnya sudah dianggap ideal.

Gerakan ini juga memperjuangkan agar aktor tidak merasakan tekanan  yang disebabkan serangkaian pertunjukan yang panjang. Sementara pada sisi lain, ada upaya perbaikan keindahan dialog dan ritme gerakan sebagai bagian penting dari kontribusi aktor bagi kesatuan yang lebih besar.

sumber: https://www.flickr.com/photos/chengyi-lee/32925048941/

Gerakan ini memperjuangkan bagi bentuk pemanggungan yang sederhana, pantas dan dekoratif. Bagaimanapun setting panggung harus menjadi yang utama dari tatanan background sebuah lakon pertunjukan, karena dia juga memiliki keindahan tersendiri.

Pengembangan sebuah tata rupa panggung baru perlu dilakukan, seperti pemanfaatan bahan-bahan plastik, memuncullkan efek dekoratif melalui pemanfaatan garis dan tumpukan benda yang sugestif, pencahayaan dan bayangan, keharmonisan warna, dan gerakan yang dirancang.

Upaya pengembangan sebuah tubuh drama yang puitis baru juga harus ada. Pengertiannya meskipun ada kandungan bahasa puisi dalam drama, tetapi tidak terlepas dari konteks dunia hari ini. Ekspresi musikal tetap ada  tetapi tidak meminjam dan menggunakan bentuk-bentuk di masa lalu. 

Dan, akhirnya, gerakan ini memperjuangkan garis batas yang jelas antara sebuah teater komersial dan sebuah teater professional baru.(ye)

Selasa, 10 Juli 2018

AHLI DRAMA DAN DRAMATURGI

Photo by Demarquet Geoffroy on www.flickr.com

Dramaturgi dapat juga secara luas diartikan sebagai “pengadaptasian sebuah cerita  untuk bisa dipentaskan di atas panggung.” Ahli dramaturgi memberi sebuah kerangka dan dasar bagi sebuah karya pertunjukan. Ahli dramaturgi sering melakukan strategi untuk memanipulasi sebuah narasi sehingga karya bisa merefleksikan sebuah semangat jaman melalui tanda-tanda lintas budaya, genre, ideologi, keterwakilan gender dan lain-lain dalam dramatisasi.

Istilah Dramaturgi 
Dramaturgi dalam bahasa Yunani artinya menulis sebuah drama. Kini kata itu lebih mengarah pada makna studi tentang komposisi dramatik dan penggambaran dari elemen-elemen utama drama di atas panggung. Istilah itu pertama kali muncul dalam karya Gotthold Ephraim Lessing berjudul Hamburg Dramaturgy (1767-69).

Lessing menyusun koleksi esai tentang prinsip-prinsip drama ketika ia bekerja sebagai ahli dramaturgi di Hamburg National Theatre. Dramaturgi berbeda dengan naskah lakon dan penyutradaraan, meskipun ketiganya dapat dilakukan oleh satu orang.
Beberapa dramawan mengkombinasikan penulisan dan dramaturgi ketika menciptakan sebuah karya. Sebagian lagi mengundang seorang ahli dramaturgi, yang dalam istilah lain disebut dramaturg untuk mengadapatasi karya di atas panggung.

Siapapun Bisa Disebut Ahli Dramaturgi
Sebenarnya siapapun bisa bertindak ahli dramaturgi. Bahkan kita semua mungkin tanpa sadar telah mempraktekannya (sebaga ahli dramaturgi). Karena jika seseorang melakukan kegiatan-kegiatan lebih dari satu peran kreatif, maka dia bisa disebut sebagai ahli dramaturgi.

Hal itu seperti sebuah proses peragian anggur menjadi minuman yang berkualitas. Orang bersangkutan setelah  melalui peragian (fermentasi) bertahun-tahun akan hadir dari dirinya pengetahuan dan pengalaman. Wujudnya akan tampak melalui hasil-hasil karyanya.  Sebuah karya bertumbuh bersama orang bersangkutan sebagai penciptanya.

Seseorang yang menyutrdarai karyanya sendiri juga memiliki peran sebagai ahli dramaturgi karena dia tahu bagaimana melakukan riset kontekstual bagi karyanya. Dia sangat berperan dalam memahami bagaimana karyanya dapat menjangkau penonton lebih luas.

Tetapi agar ia bisa memberikan apa yang layak bagi karya, dia harus membuka pintu diri. Mereka yang mengambil jarak dari niat pribadi dapat membuka kesempatan bagi sebuah dunia kemungkinan tanpa batas secara dramaturgi.

Mengambil jarak dari sebuah karya bukan sesuatu yang buruk. Sebaliknya bisa membuat seseorang menemukan jantung pertunjukannya.

Photo by Rich Smith on www.flickr.com


Multi Peran
Seseorang sebagai ahli dramaturgi juga memiliki peran seperti DSM (Deputy Stage Manager). Sebuah peran yang biasanya ada dalam produksi teater di Eropa dan Amerika. Dia akan menutun proses sebuah lakon secara teknis. Seseorang sebagai ahli dramaturgi adalah juga anggota penonton, yang berada di gedung teater dan secara aktif memasuki sebuah negosisasi untuk memahami sebuah dunia di mana lakon berlangsung dan secara konsekuen menganalisa elemen-elemen dramaturgi di belakangnya.

Pendapat bahwa setiap orang adalah ahli dramaturgi karena dunia pertunjukan dilaksanakan secara dramaturgi. Dengan demikian, seorang ahli dramaturgi telah mengambil waktu untuk membenamkan diri ke dalam riset lakon secara kontekstual.

Sebuah proses pertunjukan (teater) adalah sebuah lingkaran orang-orang kreatif  yang saling berkait secara aktif dalam kerangka kerja hingga akhir (pertunjukan).

Sehingga adalah sangat penting bagi setiap orang memiliki selera (rasa) pada pada sebuah proses produksi yang merupakan karya bersama.  Semua itu bertujuan untuk meraih sebuah pemahaman lebih baik berkaitan dengan teater.

Hal itu dapat meningkatkan pengetahuan sesuai peran yang kita miliki. Siapapun yang terlibat dalam karya teater bukan sekedar "pembuat teater." Seorang drawamawan menganggap istilah itu sebagai istilah berbau kemalasan dari kebersediaan menegaskan tanggung jawab yang jelas dari peran mereka.(ye)

source: dari berbagai sumber

Kamis, 03 Mei 2018

8 JENIS BAHASA TUBUH YANG PERLU DIKETAHUI PENULIS NASKAH DRAMA PEMULA

sumber: https://flickr.com
Semua bahasa tubuh harus memiliki kesesuaian dengan konteks. Untuk membangun adegan dan menciptakan tokoh, seorang penulis naskah perlu memiliki pengetahuan tentang jenis-jenis bahasa tubuh. Ini adalah beberapa bahasa tubuh untuk melengkapi bahasa ucap:

1. MARAH
Marah adalah salah satu ekspresi perlawanan (fight mode) sebagai wujud reaksi otomatis, secara insting terhadap sebuah ancaman. Pada beberapa kasus, ada kekhawatiran pada kerusakan menjadi dasar kemarahan. Syukurnya ada  gairah sistem saraf otonom, detak jantung meningkat, mata terbelalak dan muka menjadi merah. Tanda-tanda lain kemarahan:
-      Mengepalkan tangan
-      Menyilangkan lengan dengan erat
-      Mengepalkan tinju begitu tangan disilangkan
-      Senyum dengan dua bibi terkatup
-      Mengatupkan gigi
-      Menggoyangkan-goyangkan jari seperti tongkat
-      Mengarahkan jari ke arah seseorang


2. DISTRESS (Tertekan)
-        Laki-laki cenderung menggosok atau mengelus leher ketika mereka gelisah. Tindakan ini seolah-olah ia sedang mengatasi “sakit di leher,”
-       Menyilangkan lengan. Kedua lengan seolah menjadi pembatas yang melindunginya.
-       Memeluk diri sendiri-kedua lengan bersilang, kedua tangan mencengkeram kedua lengan bagian atas.
-       Satu lengan menyilang –satu lengan menyilang tubuh untuk memegang atau menyentuh lengan lainnya- perempuan memegang dompet atau tali tas untuk membuatnya tampak biasa-
-       Memeluk erat dompet, tas kerja, atau tas dengan kedua lengan
-       Bagi laki-laki ia Membenahi atau menyesuaikan manset
-       Melipat kedua tangan di depan selangkangan (Laki-laki)
  
3. DAYA TARIK (Attraction)
-      Mata membelalak
-      Para wanita akan menyilangkan atau membuka kaki untuk menarik perhatian
-      Melakukan peniruan bahasa tubuh orang lain (biasanya dilakukan tanpa sadar).

4. BERDUSTA
-       Berbohong menyebabkan kesemutan halus di wajah dan leher, sehingga gesture-gestur di bawah ini berupaya untuk menghilangkan perasaan itu:
-       Menutup mulut –seperti tindakan ssttt, atau mereka dapat menutup mulut rapat-rapat- beberapa orang berupaya menutupi hal demikian dengan batuk.
-       Menyentuh atau menggaruk hidung atau hanya bagian bawah hidung –sering gesture kecil dan cepat, tetapi bukan menggaruk.
-       Mengucek mata (khususnya laki-laki)
-       Menggaruk leher dengan jari telunjuk

5. KETERBUKAAN DAN KEJUJURAN
-      Membuka kedua telapak tangan
-      Kedua lengan dan kaki terbuka
-      Tubuh condong ke depan
 
sumber: https://flickr.com
6. SUPERIORITAS, KEPERCAYAAN DIRI, KEKUATAN,  dan KEKUASAAN
-      Ujung-ujung jari dari kedua tangan
-      Melipat tangan di punggung
-       Kedua jempol mencuat dari saku sementara jari-jari lain berada di dalam saku (bisa juga di saku belakang)
-       Kedua tangan di pinggang
-       Kedua tangan terlipat di belakang kepala ketika duduk bersandar (cowok), pada wanita biasanya membusungkan dada dan menjadi kelihatan. sensual.

7. TERTUTUP UNTUK PERCAKAPAN
-      Memasukkan kedua tangan di saku (cowok)
-      Kedua lengan dan kaki menyilang
-      Duduk bersandar
-      Melipat kedua tangan bersama-sama di atas meja (menciptakan sebuah pertahanan)
-      “Figure-four” menyilangkan kaki (meletakkan ankle salah satu kaki di atas lutut kaki yang lain) dan kemudian merengkuh setengah dari bagian atas kaki dengan kedua tangan.

8. TANDA-TANDA KEPATUHAN (TUNDUK)
-       Senyum (itu mengapa sebagian orang tersenyum ketika mereka khawatir atau takut).
-       Mengendurkan kedua bahu.
-        Melakukan hal-hal untuk menunjukkan betapa ia lebih rendah (kecil)

sumber: “Body Language Cheat Sheet for Writers” di situs ArchetypeWrting.coms

Rabu, 14 Maret 2018

TEATER DAN TEHNOLOGI BEREBUT RUANG DI ERA DIGITAL

sumber: https://pixabay.com/en/artificial-intelligence-robot-ai-ki-2167835/

"Manusia menciptakan dan mengalami sebuah cerita bersama-sama di sebuah ruangan. Hal seperti itu tidak akan hilang," kata Bill Rauch. Pendapat Direktur Artistik Oregon Shakespeare Festival itu disampaikan dalam sebuah tulisan berjudul The Future of Theater In a digital era, is the play still the thing? Oleh Craig Lambert di Majalah Harvard edisi Januari-Februari 2012. “Bahkan dalam beberapa sisi masih ada kehausan akan hal itu,” lanjutnya.

Teater Menggeliat Gelisah
Tulisan Craig Lambert itu memang ungkapan kegelisahan pegiat teater (terutama di AS) menghadapi gelombang besar kemajuan tehnologi informasi saat ini. Pertunjukan hidup teater sedang menghadapi tantangan dengan “dunia hiburan yang berada di genggaman.” Mereka yang gandrung pada hiburan semacam itu adalah terutama generasi muda. Hal ini membuat para pegiat teater merenung soal regenerasi pegiat teater.

Tina Packer setuju dengan semangat Rauch di atas. Pendiri Shakespeare & Company ini dengan yakin berkata, “hanya melalui orang-orang yang berkumpul bersama – sebagaimana yang dilakukan dalam teater, anda benar-benar dapat merasakan kemanusiaan. Ada perasaan mendalam dan hadir, perasaan kolektif," ungkapnya lagi, "anda tidak bisa merasakan hal semacam itu di Facebook, televisi. Anda juga tidak mendapatkan kebenaran pada beragam platform itu.”

Perbaharui Analisa
Pertunjukan “hidup” teater memang tak tergantikan. Ruang teater menjadi ruang interaksi, baik antar pemain maupun pemain dan penonton. Bahkan dialog khyusuk masing-masing individu di sana. Sehingga ketika tehnolohi informasi hadir dengan jumawa melalui berbagai perangkatnya, “keheningan” itu pecah. Hal itu sekadang memancing pegiat teater dengan enteng menimpakan kesalahan pada perangkat tehnologi informasi.

“Ada sebuah sindrom pada profesi kita. Kita menyalahkan penonton, khususnya anak-anak muda,” ucap Diane Paulus, direktur artistik American Repertory Theater. “Mereka tidak mau lagi nonton teater. Mengapa? Karena mereka tidak punya waktu untuk beri perhatian pada teater. Mereka cenderung dikendalikan oleh perangkat pribadi di genggaman mereka. Ada banyak pilihan hiburan di sana. Kita sedang mengalami kemerosotan budaya,” lanjut Diane, Saya selalu menemukan pendapat seperti itu, seolah kita (orang teater) tidak memberikan ruang untuk berubah.  Bagaimana jika kita harus membalik analisa itu dan berkata, ‘mungkin masalahnya ada pada kita, misalnya para produser. Tidak hanya para penulis dan aktor tetapi seluruh mesin produksi. Mungkin kita harus lakukan hal lebih baik untuk mengundang penonton kembali masuk gedung teater. Apakah mereka sudah meninggalkan teater? Ya. Apakah mereka sudah tidak membangun kebiasaan untuk nonton teater? Ya. Apakah itu salah mereka? Tidak!”

Ruang Pandang dan Dengar  
Pada mulanya bentuk teater itu sangat akrab dan hangat. Kita akan menemukan suasana semacam itu jika kita tengok lagi sejarah seni pertunjukan (teater) pada jaman dahulu. Pada beberapa jenis pertunjukan, bahkan penonton masih melontarkan perkataan yang meresponi tontonan. Dalang Kentrung dan penontonnya bisa melakukan dialog sedemikian rupa.

“Bentuk teater Yunani dan Elizabethan mengumpulkan orang di suatu tempat. Para aktor berbicara pada penonton yang sedang mendengarkan, bukan menonton,” kata Tina Packer. “Munculnya panggung proscenium telah memisahkan penonton dan aktor. Bangunan itu menciptakan bingkai atau jendela di mana penonton melihat tontonan melaluinya,” lanjut Tina. 
“Second Body” karya Chieh-Hua Jeff Hsie bersama kelompoknya Anarchy Dance Theatre
“Sekarang, kita sudah sampai pada tingkat di mana penonton dan aktor bahkan bisa tidak berada di ruangan yang sama (hiburan di gadget). Padahal teater itu adalah kegiatan yang membangun komunitas. Aktor yang baik bisa  merasakannya tubuhnya hadir dan berkomunikasi dengan lingkungan pertunjukan. Aktor  merasakan keberadaannya dan ia memiliki gambaran dari dalam dirinya  tentang siapa yang sedang anda perankan. Itu smeua menjadi satu kesatuan yang utuh. Aktor bisa merasakan respons dari penonton bahwa mereka juga memahami apa yang dibawakan oleh aktor," pungkas Tina.(ye)

Senin, 26 Februari 2018

TEATER DAN (TAHUN) POLITIK - Bagian 2


Teater tidak bisa terpisah dari (berita) Politik
Diep Tran memberi catatan berkiat hubungan teater dan politik ini saat ia hadir pada acara Philadellphia Fringe Festival 2017. Americana Psychobabble adalah satu dari 170 lebih pertunjukan yang disajikan selama 17 hari Philadelphia Fringe Festival  2017 yang diadakan setiap bulan September.  

Diep Tran mengakui bahwa ia seharusnya memberi catatan tentang festival teater itu sendiri. Tetapi Diep Tran berpendapat bahwa politik telah menyusupi setiap aspek kehidupan kita, apakah kita suka atau tidak.

Ini adalah jaman hyperconnectivity dengan siklus kemunculan berita sepanjang 24 jam tiada henti. Saat kita mematikan telepon kita dan duduk di teater yang gelap, maka kita sebenarnya sedang menyimpan berita utama hari ini di gadget kita.

Dan jika ada sesuatu di atas panggung yang jelas bersinggungan atau hanya samar-samar sebagaimana dibahas di CNN, otak kita secara otomatis akan menghubungkan itu. Hal itu sudah  hampir menjadi  naluriah sekarang. Oleh karena itu seniman (teater) yang ingin mendalami permasalahan politik harus bisa membuat keseimbangan antara keberpihakan dan polemik dengan nuansa dan urgensi.




sumber: http://www.internationalwow.com/newsite/comfortsafety/comfort.html
Respon Bijak pada Isu-isu Terkini
Tahun politik 2018 ini mungkin beberapa seniman baik individu ataupun kelompok akan “peye” berkaitan dengan propaganda, kampanye dan sejenisnya. Bukan benar atau salah, boleh atau tidak masalahnya. Toh, misalnya hari ini kita berada di panggung “partai hitam” dan besok di panggung “partai putih” juga tidak masalah.

Kebutuhan pragmatis dan praktis (menjaga kendhil tidak ngguling) sekadang menjadi alasan klasik. Tapi kita harus menghormati mereka yang menempatkan teater sebagai ruang terbuka dan demokratis. Sebuah ruang yang tidak sembarang ideologi dan gagasan masuk sehingga menghilangkan netralitas teater. Karena teater seharusnya menjadi ruang berpikir alternatif bagi berbagai kuasa ideologi dan gagasan yang mengada.

Philadellphia Fringe Festival 2017 menampilkan karya-karya yang di antaranya mengusung tema berkaitan dengan situasi politik terkini, Misalnya perubahan iklim, kebrutalan polisi, rasisme. Pertunjukan-pertunjukan tersebut berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan besar politik pada tahun 2017 dan itu semua tampaknya bukan kebetulan (dikaitkan dengan Pilpres Amerika). Tetapi Diep Tren bertanya-tanya pada beragam pertunjukan-pertunjuakan yang dibebani masalah politik itu.

Teater Punya Potensi Sebagai Pencipta Perubahan
Diep Tran mempertanyakan apa seharusnya peran seni pada tahun 2017? Ketika berita-berita terasa seperti maraton teater yang melelahkan. Kita seperti disuguhi persaingan-persaingan di atas panggung drama.

Kemudian apa yang bisa panggung teater hadirkan pada kesadaran kita bahwa kita tidak sekedar bersumber dari CNN atau stasiun berita televisi lain atau akunTwitter Presiden atau kementerian negara tertentu?

Marc Bamuthi Joseph menjawab pertanyaan Diep Tren itu. Penulis dan dramawan itu berkata, “seni bisa mengubah pikiran.  Perubahan itu lama-lama bisa dianggap normal. Itu yang terjadi dalam budaya kita. Sehingga opini sebenarnya bisa membentuk kebijakan. Kemampuan itu bisa dilakukan oleh seniman.  Lihat saja, penceritaan tentang budaya Amerika berada di tangan seniman.”

“Perlu dipahami juga bahwa perubahan pikiran dan kelangsungan budaya, tidak terjadi seketika. Perubahan-perubahan tersebut tidak terjadi dalam hitungan siklus ekonomi perkuartal. Hal itu terjadi dalam siklus pemilu 4 tahunan.  Sebagian seniman (teater) dan pemikir terkemuka memahami hal itu. Oleh karena itu, mereka melakukan perubahan dengan cara langkah demi langkah bukan lompatan demi lompatan. Teater memang bukan pemerintah; tetapi ia punya fungsi sebagai penunjuk jalan,” lanjut Marc Bamuthi Joseph.

Harus Lebih Bangkitkan Kesadaran 
Deap Tran mengemukakan bahwa jika seniman berupaya merespon hal-hal besar berkaitan pertanyaan-pertanyaan seputar lingkungan dan sosial ekonomi yang berseliweran di sekeliling kita, mereka harus melakukannya dengan hati-hati dan sungguh-sungguh.

“Saya tidak mengalami katarsis sebelum batin saya tersentak hebat karena apa yang saya lihat lihat lebih dalam daripada yang saya hanya baca headline berita dari hape saya,” ucap kritikus teater Koran New York Time, Ben Brantley.

Penonton jaman now lebih memiliki kesadaran dan kritis. Oleh karena itu, seniman teater harus melalukan yang terbaik menghadapi penonton seperti itu. Khususnya jika karya mereka sedang mempersoalkan isu-isu terkini.

Terutama isu-isu yang sekadang terlalu besar sehingga banyak orang merasa tidak berdaya menghadapinya. Bahkan termasuk si seniman teater sendiri sebenarnya tidak punya solusi atas masalah yang mereka dramatisasikan di atas panggung.


sumber: http://fringearts.com/wp-content/uploads/2017/08/unnamed-11.jpg
 Teater sebagai Penyeimbang yang Bijak
Seniman teater seyogyanya menjadikan karya mereka sebagai sebuah penyeimbang berbagai isu dari sisi seni. Jika teater berfungsi sebagai sebuah petunjuk, maka teater seharusnya mengarahkan penonton menuju jawaban-jawaban atau tindakan-tindakan.

Teater juga butuh mengolah masalah lebih baik sehingga penonton punya alasan mengapa mereka harus tinggal di dalam gedung pertunjukan. Tontonan teater yang menyajikan banyak pertanyaan dan isu tidak menjamin pertunjukan berhasil. Tontonan spektakuler dengan biaya besar tidak menjamin kepuasan penonton. Bisa jadi sesuatu yang kecil dan sederhana, seperti “yoga tertawa” dalam lakon Americana Psychobabble karya Tatarsky di atas lebih mengena.

Selain itu, seniman teater harus memiliki kemampuan membangun ruang dan waktu sedemikian rupa. Sehingga mereka bisa mengaja penonton masuk ke sebuah ruang, menyingkirkan telepon, dan mengarahkan perhatian pada panggung. Seniman teater harus memanfaatkan ruang dan waktu itu sebaik-baiknya. Hal itu memiliki potensi menciptakan pemanggungan yang berhasil. (ye)

adaptasi dari tulisan Diep Tran berjudul:
How to Make Relevant Theatre in 2017: Lessons From Philly Fringe
Theatre is reflecting our world back at us. But are we feeling it?

Kamis, 22 Februari 2018

TEATER DAN (TAHUN) POLITIK - bagian 1

 “Meskipun ini pura-pura, tetapi tetap ada manfaatnya,”terang performer Alexandra Tatarsky pada penonton. Beberapa manfaat tersebut di antaranya melepaskan ketegangan, mengendurkan tekanan, dan membangun kekuatan inti,” lanjut Tatarsky ketika ia menyebut apa yang ia tampilkan itu adalah sebagai “yoga tertawa.” Dalam pertunjukan itu, penonton mengikuti arahan Tatarsky seperti pura-pura menangis, tertawa dan muntah, tertawa dan teriak.

sumber: www.culturebot.org/2017/09/27514/americana-psychobabble-alexandra-tatarfsky-at-fringearts-philadelphia/

Itulah pertunjukan berjudul Americana Psychobabble karya Tatarsky yang digambarkan oleh Diep Tran, editor senior majalah American Theater.  Penulis kritik teater itu menggambarkan penampilan Tatarsky yang nyleneh. Dia mengenakan kostum dengan simbol-simbol  kebesaran Amerika dan  dia tampil bak ratu kecantikan “nyleneh.” Dia melontarkan serangkaian kata-kata yang tidak masuk akal namun sepenuhnya bertema Amerika. Penonton seperti menyimak sebuah liputan berita politik yang berseting sebuah di Taman Hiburan Rakyat (THR).

Teater dan Tema Politik
Pertunjukan itu terinspirasi oleh Konvensi Nasional Partai Republik dalam rangka Pilpres di Amerika Serikat yang ditulis oleh Diep Tran sebagai "pemilihan badut." Inti dari pertunjukan ini adalah ketika semuanya kelihatan konyol, maka satu-satunya hal yang dapat Anda lakukan adalah menertawakan, menangis, dan menjerit.

Tema-tema politik memang akrab dalam dunia pertunjukan teater di manapun di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tema-tema politi terutama sangat menguat saat Orde Baru. Teater menjadi corong melepaskan kritik dan uneg-uneg terhadap kebijakan politik penguasa. Itu adalah “tahun-tahun politik” buat teater Indonesia. Setelah itu, “fungsi corong” seperti itu menyusut. Tema politik belum sirna tetapi kini menjadi dominasi eksekutif, parlemen dan parpol. Akankah di tahun politik 2018 (dikaitkan Pilkada serentak di beberapa daerah) teater masih tiarap bicara politik?

Membuka Ruang Kesadaran Pelaku dan Penonton
“Sebenarnya, hal itu (mengusung tema politik sebagai bentuk kritik) perlu dan penting, ketimbang bersikap acuh tak acuh dan mati rasa,” kata dramawan Marc Bamuthi Joseph, "Kita berada di situasi miskin empati, sehingga berdampak pada keengganan untuk bertindak meresponi situasi politik yang terjadi," katanaya kepada Diep Tran.

"Saya pikir cara terbaik untuk melawan ketidakbenaran adalah dengan membangkitkan kepercayaan diri dan kemampuan orang agar mereka percaya pada apa yang mereka yakini." Bamusthi juga menambahkan: "Selama hal seperti itu tidak menghancurkan atau membatasi dengan kekerasan terhadap akses orang lain untuk menyalurkan hak suara, maka itu tidak apa-apa."

(bersambung)

adaptasi dari tulisan Diep Tran berjudul:
How to Make Relevant Theatre in 2017: Lessons From Philly Fringe
Theatre is reflecting our world back at us. But are we feeling it?

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...