Selasa, 21 Mei 2019

Gedung Teater dan Jarak Pertunjukan

Sumber: pixabay.com

Pada akhir abad ke-19, arsitektur gedung teater kontemporer mulai memunculkan bentuknya.  Beberapa inovasi tehnis terjadi pada gedung teater yang memiliki dampak luas pada unsur-unsur di dalamnya. Tampilan arsitektur bangunan gedung teater menjadi sesuatu yang menonjol pada pada abad ke-19. Tampilan-tampilan itu di antaranya adalah lampu gas, sistem rail, gantungan lampu dan listrik, dan munculnya panggung datar.

Meskipun  banyak muncul inovasi, konsep arsitektur gedung teater tidak berubah. Panggung model Jaman Baroque masih tetap dominan. Selain arsitektur, berbagai inovasi tehnik membawa perubahan besar dalam teater pada periode ini. Belakangan, auditorium (ruang penonton) seolah tenggelam dalam kegelapan dan terpisah dari ruang adegan.

Seorang pengamat berpendapat bahwa susuanan semacam itu menegaskan bahwa sesuatu yang sakral terletak dalam ruang mental penonton dan bukan pada lingkungan fisik yang ditempati tubuh mereka. Gedung teater seperti mencapai bentuk finalnya sepanjang periode ini. Panggung, auditorium, bingkai panggung, lobi, ruangan-ruangan kecil, bagian administrasi adalah semua elemen yang akan menjadi satu kesatuan sebagaimana kita masih jumpai hingga saat ini.

Charles Rennie Mackintosh menyatakan bahwa tahun 1876 adalah tahun kunci bagi studi arsitektur gedung teater modern bersamaan dengan pembukaan Gedung Teater Wagner di Bayreuth (Jerman). Arsitek Inggris itu mengatakan bahwa gedung ini menandai sebuah permulaan arsitektur gedung teater modern. Pada masa itu, pertama kalinya tradisi dalam arsitektur gedung teater mengalami perubahan-perubahan.

Tantangan menarik ini diciptakan oleh Wilhelm Richard Wagner (1813-1883) sebagai sebuah hasil dari gagasan radikalnya tentang mendekatkan aktor dan penonton dalam satu kesatuan. Wagner’s Gesamtkunswerk (gagasan seni total Wagner) sangat kuat mempengaruhi seni teater pada awal abad ke-20. Salah satu seniman teater terkemuka yang memiliki pengaruh besar dari Wagner adalah Adolphe Appia (1862-1928). Teaterawan Swiss ini adalah salah satu pelopor seni tata panggung modern. Karya dan gagasan seni Wagner memberi inspirasi sekaligus membangkitkan ketidakpuasan dalam diri Appia.

Appia pun memutuskan mereformasi produksi teater. Hingga akhir hidupnya, Appia tidak hanya melakukan perombakan produksi teater, tetapi ia juga melakukan restorasi teater untuk kembali pada masa Yunani kuno. Ia menggambarkan bingkai lengkung di depan panggung proscenium sebagai titik kontak antara dua dunia, yaitu aktor dan penonton.

Appia tidak hanya penentang konsep pemisahan antara penonton dan aktor (panggung dan aktor), tetapi juga pemisahan antar penonton.  Appia berpendapat bahwa Ruang cekungan di depan panggung tempat pemain musik (pit) harus hilang, Panggung beserta auditoriumnya harus satu kesatuan, bingkai (gapura) lengkung pada panggung proscenium (lubang kunci raksasa) harus juga hilang sehingga  memungkinkan interaksi penuh antara audience antara aktor.
                 
Seorang penulis Perancis bernama Bablet memiliki pendapat menarik soal Appia. Kita berhutang pada Appia untuk segala yang meruntuhkan ruang tradisional, segala yang menyebabkan perkembangan dan menciptakan kedekatan secara fisik dan spiritual antara aktor dan penonton.

Sumber: Photo by Karen Zhao on Unsplash
Appia ingin mewujudkan sebuah gedung teater yang akan memiliki kesesuaian keadaan optik dan akustik. Sebuah gedung yang bisa mengikat ruang pementasan dan auditorium sebagai satu kesatuan. Keseluruhan area gedung seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga hal itu memuaskan kebutuhan secara akustik, optik, dan visual.

Soal gagasan ini, Appia memperjelas bahwa drama dan aksi di dalamnya, tidak hanya mengambil tempat di panggung, tetapi pada saat bersamaan terjadi di ruang imajinasi penonton. Appia menyebut gedung teater yang diperbaharui sebagai Katedral masa depan yang bebas, ruang besar dan bisa berubah.

Gedung teater menjadi sebuang ruang yang seharusnya menerima beragam manifestasi kehidupan sosial dan artistik manusia. Ruang di mana seni drama akan berkembang, dengan atau tanpa penonton. Gedung teater seharusnya tidak memisahkan atau menciptakan hubungan antar personal yang hirarkis. (yem)

sumber: berbagai sumber

Kamis, 02 Mei 2019

Listrik, Cahaya, dan Panggung

Photo by LinYongchen on flickr


Dua ahli teori dan perancang gerakan non-ilusionis panggung terkemuka adalah Adolphe Appia (Swiss) dan Edward Gordon Craig (Inggris). Appia menyatakan bahwa tujuan mendasar dari produksi teater adalah kesatuan artistik. Dia menyimpulkan bahwa ada tiga elemen yang saling bertentangan dalam sebuah produksi pementasan teater. Ketiganya adalah aktor (wujud tiga dimensi) yang beracting, set panggung vertikal yang diam, dan lantai horizontal.

Dia juga  mengkategorikan pencahayaan panggung mencakup tiga hal: lampu general atau yang menimbulkan pencahayaan luas; cahaya formatif yang menciptakan bayangan, dan cahaya yang menciptakan efek pada set panggung. Dia berpendapat bahwa teater ilusionis hanya menggunakan yang pertama dan terakhir.

Appia mengusulkan mengganti lukisan pemandangan ilusi dengan struktur tiga dimensi yang dapat diubah tampilannya dengan memvariasikan warna, intensitas, dan arah pencahayaan. Struktur solid, menurut Appia, akan berfungsi untuk menciptakan ikatan antara lantai horizontal dan pemandangan vertikal dan meningkatkan gerakan aktor, yang secara ritmik dikendalikan oleh musik iringan.

Lampu, juga akan berubah sebagai respons terhadap musik, sehingga mencerminkan atau memunculkan perubahan dalam emosi, suasana hati, dan tindakan. Dalam menciptakan sebuah adegan, Appia menganggap cahaya seperti sebuah  musik visual dengan cakupan ekspresi dan intensitas yang sama.

Dari sudut pandang teknis, pemanfaatan tenaga listrik memberi pengaruh besar pada desain panggung dan teknik-teknik produksi pemetasan teater. Pencahayaan panggung yang terencana sebagai lawan dari penerangan panggung biasa,  mampu meningkatkan derajat bentuk seni dan merevolusi dekorasi, desain dan bentuk panggung.

Untuk pertama kalinya sejak teater pindah ke ruang tertutup sejak jaman Renaissance, pencahayaan memadai dan aman menjadi niscaya. Tetapi di luar sekedar fungsi dan keamanan,  media itu mempunyai kelenturan dan kehalusan yang membuatnya menjadi bagian bagian integral efek pemanggungan dan meningkatkan ekspresi visual untuk tujuan artistik.

Di luar pengembangan pencahayaan panggung serta teori dan teknik yang dipelopori oleh Appia dan Craig, listrik memberikan solusi bagi banyak masalah yang muncul sehubungan dengan perubahan (pergantian) adegan dalam pemanggungan.

Photo by Mattias Karlsson on flickr

Tuntutan untuk perubahan yang cepat dari kerumitan set natural bertemu dengan tuntutan untuk “dematerialisasi” panggung. “dematerialisasi” panggung bertujuan agar berjalannya tampilan simbolis satu ke simbolis lain bergerak dengan lancar.

Selain itu, mereka yang ingin melakukan pembaharuan juga menginginkan sebuah perubahan adegan dapat dilakukan secara sederhana dan cepat dalam panggung terbuka.

Penemuan dan instrumen baru yang praktis banyak dirancang dari hasil gagasan para teoritikus. Temuan-temuan yang ada banyak diadaptasi oleh desainer, sutradara, dan insinyur panggung di Barat dan sebagai pusat inovasi terbesar adalah Jerman. (yem)


Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...