Selasa, 25 Agustus 2020

Teater Masa Depan

Seni Pertunjukan (Teater) dan Penonton Digital Native

sumber: flicker.com

Sebuah perbincangan bertema Digital Space: Performing Arts and the Digital Shift pernah berlangsung di Sofia, Bulgaria 16-19 Oktober 2014.  Salah satu narasumber adalah Maude Bonefant. Dia adalah adalah ahli media digital yang melakukan riset tehnologi baru: game, media sosial dan lain-lain dari sudut pandang sosial. Berlawanan dengan pendapat umum, salah satu pendapat pentingnya adalah dunia maya bukan sebuah dunia parallel dan apa yang kita sebut relitas virtual adalah sebuah sebuah perpanjangan dari dunia offline: senyata dunia di mana kita berada. Pendapat tersebut ia peroleh dari serangkaian wawancara pada sejumlah komunitas digital. Ia menemukan fakta bahwa kekerasan dan pelecehan di dunia online bisa melukai perasaan seseorang secara nyata atau demikian pula hal positif persahabatan para gamer secara online bisa dirasakan sebagai persahabatan sejati biarpun mereka belum pernah saling bertemu secara offline. “Dunia maya adalah hanya sebuah perpanjangan kehidupan,” tegas Maude Bonenfant.

Lalu, bagaimana seni pertunjukan menghadapi penonton jaman sekarang yang juga adalah digital native. Haruskah kita meminta mereka meletakkan HP sebelum pertunjukan atau membiarkan mereka melakukan streaming dan share pertunjukan yang disaksikan? Kita juga  memisahkan mereka dari katgori penonton “tradisional offline” atau membiarkan mereka bercampur? Topik dalam perbincangan tersebut juga bagaimana merespon terhadap perubahan wujud perhatian di jaman digital dan bagaimana memasarkan seni pertunjukan pada penonton digital native.

Penelitian ilmiah membuktikan bagaimana otak manusia bisa berubah. Saat ini, manusia cenderung lebih menyukai pesan yang lebih pendek tetapi kemampuan multitasking mereka berkembang. Jika golongan digital natives memiliki perhatian terpecah (fragmentasi), maka mereka bukan berarti tidak mampu memahami sesuatu hal. Sebaliknya mereka mampu menangkap beberapa pesan sekaligus.

Salah satu budaya baru yang berkembang di kalangan digital native adalah crowdfunding untuk industri bioskop dan produksi film independen. Mereka bersedia membayar untuk sesuatu yang belum mereka terima. Produksi seni pertunjukan (teater) mungkin bisa menjadikan hal semacam itu untuk kebutuhan produksi dan “pemasaran” karya mereka.

Ada masanya mungkin digital native lebih suka menonton pertunjukan melalui media digital daripada mereka hadir di secara langsung di depan panggung. Ini pasti menimbulkan pertanyaan baru bagi seni pertunjukan, terutama jika pelaku seni pertunjukan memiliki pemahaman bahwa sebuah pertunjukan seharusnya tanpa sekat atau medium digital.

Mauren kembali menegaskan bahwa layar gadget bukanlah cangkang yang memisahkan antara manusia dan dunia; dunia online itu tidak terpisah dari realitas offline. Terkait dengan digital natives, maka dunia virtual adalah perpanjangan dari realitas dan bisa menjadi cara untuk berbagi pengalaman. Beberapa teater mengizinkan orang untuk men-tweet tentang acara mereka dan mereka menjadikan hal itu untuk tujuan pemasaran.

Maude Bonenfant

Satu sisi, ada pasti penonton yang terganggu dengan cahaya layar hape saat mereka berada di ruang pertunjukan. Oleh karena itu, penyelenngara tontonan mungkin perlu penyediaan sektor digital di bagian bangku penonton. Ini bisa menjadi solusi untuk membuat kategori audiens "lama" dan "baru" di satu tempat.

Salah satu keunikan dari menonton seni pertunjukan secara langsung adalah kita mengalami peristiwa seni pertunjukan itu sendiri bersama-sama penonton lain.  Sesuatu yang mengandung sensasi tersendiri berada dalam sebuah komunitas pertunjukan.  Dengan demikian apakah seni pertunjukan akan kehilangan nilai itu di zaman era digital saat ini? Karena beberapa orang mungkin sangsi apakah cara berbagi pengalaman secara online masih bisa membangun nilai tadi?

Maude menyatakan bahwa kebersamaan secara online bukanlah pengganti; cara itu hanyalah wujud lain untuk bersama. Bagaimanapun manusia butuh bersama. Tubuh harus hadir. Seni pertunjukan di panggung adalah cara yang sangat penting untuk bersama dalam sebuah komunitas. Pengalaman dalam sebuah ruang dan waktu secara nyata tidak mungkin tergantikan hal lain.

Seni pertunjukan online adalah salah satu cara untuk tetap membentuk sebuah komunitas di seputar pertunjukan. Sehingga kita juga tidak dapat begitu saja mengatakan bahwa orang-orang yang menonton pertunjukan secara online di beranda (feed) sebuah pentas bisa disebut menghadiri pertunjukan itu sendiri.

Seni pertunjukan harus menyadari terhadap media baru ini dalam menyebarkan karyanya. Seni pertunjukan harus berpikir ulang tentang karya-karya yang diciptakan terlebih bila dikaitkan dengan digital native.

Ideologi neoliberal lebih dulu menunggangi kemajuan tehnologi informasi bagi kepentingannya(digital native berada di dalamnya). Kolaborasi neoliberal dan dunia digital cenderung mengubah semua orang- pelajar, pasien, masyarakat umum - menjadi klien, menjadi konsumen produk.

Sumber: flickr.com

Hal seperti itu pasti cukup masalah dengan dunia seni, pendidikan dan sejenisnya. Solusinya tentu tidal mudah. Penonton harus tertarik pada teater tetapi tidak harus dianggap sebagai klien suatu produk. Salah satu kemungkinan adalah menemukan cara menetralkan trend konsumen neoliberal besar ini. Seni pertunjukan harus mendidik audiens karena jika seseorang tidak tahu dan tidak memahami seni, bagaimana seseorang bisa menyukainya dan menghargainya?

Teknologi tidak bisa begitu saja diletakkan di depan seni beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Meskipun satu sisi kita menyadari bahwa faktanya teknologi informasi “tidak netral.” Teknologi itu mengandung ideologi tersendiri di dalamnya. Sehingga jika kita tidak memperhatikannya, maka kita berada di jalan yang salah.(ye)

 

Sumber: https://www.ietm.org

Kamis, 30 Juli 2020

Istilah Penyutradaraan

Istilah-istilah Gerakan Dalam 

Seni Pertunjukan (Teater)


Students in rehearsal of The Children's Hour during Repertory Theatre Term 2019


Sutradara memiliki banyak istilah yang berkait dengan gerakan para pemain saat ia melakukan tugas penyutradaraan. Sutradara menggunakan  istilah-istilah itu untuk menyampaikan konsep garapannya pada para pemain dalam sebuah latihan. Sutradara bisa memakai istilah-istilah yang berasal dari teori-teori penyutradaraan yang ada. Tapi bisa jadi juga sutradara dan pemain sudah memiliki kesepakatan dengan istilah-istilah yang digunakan. Berikut beberapa istilah yang siapa tahu sutradara sering memakainya. Di sisi lain, istilah-istilah di bawah ini tidak pernah didengar baik oleh sutradara atau pemain.



The Crucible By Arthur Miller Directed by John Dove (2016)

Bahasa tubuh memberikan sebuah indikasi dari keseluruhan sikap tubuh (misal: defensive atau terbuka)

Ekspresi wajah adalah posisi wajah untuk mengkomunikasikan emosi yang berasal dari perasaan tokoh

Gestur dibuat oleh tangan dan lengan, dan dapat menjadi tanda secara visual dari komunikasi

Kontak mata digunakan oleh seorang tokoh menciptakan hubungan dengan penonton atau tokoh lain

Postur adalah bagaimana aktor mengendalikan tubuh bagian atas sehingga dia mampu menunjukkan status, umur, kesehatan atau emosi dan sebagainya. Bentuk tubuh bisa tegak atau bungkuk.

Speed adalah seberapa cepat atau lambat gerakan tokoh.

Pemanfatan ruang atau level memampukan aktor untuk menentukan status atau menciptakan jarak atau kedekatan dengan tokoh-tokoh lain.

Gaya jalan adalah bagaimana seorang tokoh berjalan. Misalnya dia memiliki cara melangkah yang pasti

Sabtu, 18 Juli 2020

Profesi

Apa itu Theatre Designer?


Maria Bjornson (949 –  2002) & " Phantom of the Opera" 

Theatre Designer adalah orang yang memiliki peran penting dalam sebuah produksi teate. Dia menentukan kostum pemain, tempat pementasan, dan benda serta property yang digunakan. biasanya disebut Theatre Designer (Desainer Teater). Hingga pertengahan abad ke-20 'dekorasi' adalah istilah umum untuk apa yang dibuat oleh desainer teater di atas panggung. Dalam buku program pertunjukan teater biasanya tertulis designed by (dirancang oleh). Bagi desainer teater modern istilah 'dekorasi' menyiratkan kedangkalan yang tidak selaras dengan bagaimana peran mereka sesungguhnya. Bahkan beberapa merasa bahwa istilah ‘desainer teater' pun tidak cukup menggambarkan pekerjaan mereka dan mereka lebih suka 'scenographer' atau 'perancang pertunjukan’.

Kini, banyak desainer teater menganggap diri mereka sebagai kolaborator bersama dengan sutradara, pemain dan lain-lain yang terlibat dalam menciptakan produksi. Bersamaan dengan perkembangan ini, posisi teks dramatis sebagai pusat penciptaan pertunjukan menghadapi tantangan. Elemen desain mereka sama pentingnya dengan kata-kata atau teks yang diucapkan di atas panggung, atau bahkan dalam beberapa kasus menggantikannya.

Desainer teater akan menganalisis dan menafsirkan teks dramatis. Selain itu, desainer teater juga berpikir tentang kepraktisan suatu produksi, seperti anggaran, lokasi, target penonton, sumber daya yang tersedia, dan kerja sama dengan berbagai pidak. Selain itu, desiner teater dan sutradara menentukan tema apa yang mereka soroti.

Desainer teater juga mempertimbangkan  berbagai faktor. Terutama bagaimana  menciptakan interpretasi visual, spasial atau aural untuk sebuah produksi pertunjukan melalui rancangan mereka. Dalam hal ini termasuk set, kostum dan properti. Kemudian desainer teater harus mengamati transformasi ide-ide dari gambar, diagram atau model skala ke pementasan yang sebenarnya.

Apa yang mereka desain akan mempengaruhi pemahaman penonton. Pertunjukan teater adalah pengalaman indrawi yang melibatkan penglihatan, suara, cahaya, tekstur, waktu, gerakan dan ruang, yang semuanya perlu dipertimbangkan oleh seorang desainer.

Miriam Buether, The Jungle, Playhouse Theatre (2018)

Desainer teater akan menilai struktur dan komposisi rancangannya dan apa yang dapat dikomunikasikan kepada penonton. Komposisi rancangan itu berasal dari kombinasi segala kontribusi, seperti akting, penyutradaraan, pencahayaan, tata suara dan sebagainya. Desainer teater membantu mengatur bagaimana materi sumber disajikan dalam pertunjukan. Bagaimana pertunjuan dibingkai - secara konseptual, ideologis, struktural atau fisik. Apa yang mereka rancang dapat menambahkan lapisan makna, atau menjadi lensa yang bis digunakan untuk melihat kata-kata dan tindakan di atas panggung. (ye)


sumber: https://artsandculture.google.com/exhibit/the-role-of-the-theatre-designer-national-theatre/ygJiY6PZyPRoJw?hl=en

Sabtu, 11 Juli 2020

Teater dari Rumah

Jalan Digital Para Pejuang Panggung

https://pixabay.com/) & Photo by Rojan Maharjan on Unsplash

Tidak seorang pun pada saat ini dapat menjawab kapan bentuk tontonan live akan kembali. Bahkan ahli medis, lembaga-lembaga pendanaan kegiatan seni, dan juga pelaku kreatif  sendiri yang sudah lama kehilangan panggung (dan finansialnya?).

Digital adalah satu-satunya tahap aman saat ini. Teater sedang memperjuangkan hidup mereka lewat cara kreatif kekinian. Mereka mengeksplorasi untuk bisa  tetap terhubung dengan penonton dengan teknologi media. Beberapa dramawan menulis drama untuk ditayangan via Zoom, beberapa karya dihadirkan secara streaming, makin yang melakukan dramatic-reading secara online, dan ruang virtual telah menjadi tempat tongkrongan baru bagi teater.

Beberapa waktu lalu, Centre Theatre Group dan pimpinannya Meghan Pressman memoderatori panel dengan tema “membuat konten teater untuk platform online.” Para pembicara antusias meskipun mereka cukup hati-hati dalam pembahasan. Digital bisa menjadi penyelamat dalam situasi ini, namun belum tentu berdampak pada keuntungan berkait keuangan. Tapi pilihan apa lagi yang tersedia dalam pandemic ini?

Yuval Sharon, direktur artistik Industry, sebuah kelompok opera inovatif yang didedikasikan untuk menjelajahi ruang pertunjukan nontradisional mempunyai pendapat keren. Ia bilang, “jangan menjadikan jalan digital sebagai bentuk permakluman karena kita tidak bisa mendatangkan penonton." Digital kurang menarik baginya sebagai sistem pengiriman "untuk karya-karya  yang biasa kita kerjakan." Dia lebih tertarik dengan "karya baru" yang responsif terhadap peralatan kekinian.

Direktur artistik Oregon Shakespeare Festival, Nataki Garrett mengatakan bahwa digital dapat memperluas jangkauan ke komunitas-komunitas yang terpinggirkan yang mungkin merasa tidak diterima dalam suasana “terbatas” ruang teater. “Dapatkah kita menciptakan ruang yang tidak hanya memperkuat homogenitas penonton?” tanyanya.

Direktur artistik Deaf West Theatre, DJ Kurs juga menjadikan digital untuk cara memperluas akses. Namun dia mencatat bahwa mungkin "kurang dari 15 persen teater online diberi judul atau diterjemahkan (subtitle) sehingga bisa diakses oleh komunitas tuna rungu."

Photo by mostafa meraji on Unsplash

Semakin lama pandemi ini berlangsung, penawaran teater online yang lebih dinamis dan inovatif akan makin banyak Tapi risikonya tidak bisa diremehkan. Sebagian memang akan menyambut gembira ketika gedung teater dibuka kembali, tetapi bagaimana dengan sebagian penonton yang telah terbiasa menonton pertunjukan via gadget?

Tentu saja, tidak ada yang bisa menggantikan suasana dari penonton teater secara live. Layar monitor gadget, tidak peduli seberapa definisi tinggi resolusinya, tidak dapat membangkitkan sensasi hidup di ruang pertunjukan. Tetapi satu sisi juga mulai muncul gagasan tentang tiket nonton teater virtual di masa depan. Terutama bagi mereka (penonton), yang masih khawatir tentang penularan dan memilih untuk online streaming.

sumberhttps://www.latimes.com/entertainment-arts/story/2020-05-13/coronavirus-theater-digital-streaming-risks

 


Selasa, 07 Juli 2020

Seni Pertunjukan dan Kenormalan Baru

Teater dan Budaya Digital sebagai Strategi 

Pada tahun 2018 beredar tulisan berjudul Why every theatre needs a digital strategy di situs European Theater Lab. Artikel yang jelas jauh sebelum pandemi ada tersebut ditulis oleh Simon Mellor, Direktur Eksekutif  Seni dan Budaya, Dewan Kesenian Inggris (Arts Council England).

Posisi Arts Council England (ACE) adalah lembaga investasi, pengembangan dan advokasi untuk seni, museum, dan perpustakaan di Inggris. Saat artikel itu ditulis ACR  meminta semua organisasi (seni) yang mengajukan dana rutin tahunan sebesar £ 250.000 (€ 285.000) atau lebih untuk memiliki strategi digital. Tanpa strategi tertulis itu (beserta dengan rencana untuk mengimplementasikannya), tidak ada satupun (organisasi) yang bisa mendapatkan dana dari Dewan Seni.

https://unsplash.com/
ilustrasi dari unsplash.com & flickr.com


ACE melacak bagaimana organisasi seni dan budaya telah mengembangkan penggunaan data dan teknologi baru beberapa tahun belakangan. Survei “budaya digital” tersebut menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan di beberapa daerah. Misalnya, sejak 2013 telah terjadi penurunan proporsi organisasi yang melihat teknologi digital sebagai hal yang penting untuk pekerjaan mereka di berbagai bidang seperti kreasi, distribusi, dan pameran. Survei 2017 juga menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi seni dan budaya masih tidak menggunakan data untuk tujuan penting seperti memahami audiens dengan melakukan analisis data dan profil.

Mereka kalah bersaing dengan industri hiburan komersial  dalam hal memahami lebih banyak tentang siapa audiens mereka dan berkait konten yang dibutuhkan penonton. Pada  masa menyusutnya dana publik, ACE ingin membantu organisasi-organisai untuk mengambil memanfaatkan keuntungan dari kemajuan teknologi informasi.  ACE berharap mereka memahami lebih banyak tentang audiens mereka, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan (berkaya) lebih inovatif dan relevan, dan membuat mereka bertahan lebih tangguh.

ACE melihat bahwa publik semakin hidup menikmati budaya online . ACE mengkhawatirkan banyak teater kami yang didanai publik akan kehilangan relevansinya,  dan masih terjebak dalam dunia analog yang menjangkau semakin sedikit orang. Itulah sebabnya ACE memutuskan untuk bertindak dan menjadikannya syarat pendanaan organisasi seni harus memanfaatkan strategi digital.

Photo by Lex Aliviado on Unsplashs
 

Selama beberapa tahun ke depan, ACE berharap untuk melihat kemajuan signifikan dalam hal berikut:

  • penggunaan teknologi baru untuk berinovasi dalam praktik artistik, baik online maupun offline;
  • penggunaan teknologi baru untuk membuat, mendistribusikan, dan membagikan karya secara online;
  • pengumpulan, berbagi, dan analisis data untuk membantu meningkatkan pengambilan keputusan, memungkinkan organisasi memiliki posisi tawar lebih tinggi.

Beberapa kelompok teater tempat memang sudah berada pada berbagai tahap perjalanan ke arah budaya digital mereka. Strategi digital yang baik perlu dimulai saat ini dengan tetap berakar pada misi kreatifnya. Ini harus selalu mempertimbangkan bagaimana teknologi baru dapat membantu mencapai tujuan yang lebih luas dan bagaimana kualitas unik dari setiap teater dapat didukung oleh teknologi digital. 



sumber: www.europeantheatrelab.eu

Rabu, 01 Juli 2020

Pertunjukan dari Ruang Domestik


Meskipun sangat tergantung pada akses ke koneksi internet dan faktor sosial ekonomi lainnya, transisi ini telah membuat karya seni lebih mudah tersedia bagi orang-orang dari latar belakang yang berbeda.  Hal ini adalah sebuah aspek revolusi virtual yang positif. 

Namun, tontonan virtual tetap merupakan perubahan bagi seniman yang biasa berhadapan langsung dengan penonton. Mereka biasanya menikmati respon penonton, misalnya tepuk tangan dan tawa.  Penulis naskah drama terkenal Amerika Lauren Gunderson menulis dalam artikelnya "Teater di Masa Pandemi" untuk San Francisco Chronicle. Ia mengatakan, “apa itu permainan jika tidak ada penonton ... Saya menyadari bahwa saya menulis bukan untuk penonton tetapi bersama mereka."  Ini saat yang tepat untuk merenungkan hubungan yang dibangun oleh seni dengan pembaca, penonton, atau pendengar. Apakah seni merupakan bentuk ekspresi belaka, atau cara untuk membangun hubungan dengan manusia?

Meskipun tidak mudah, seniman terus berkarya dari keterbatasan rumah mereka. Menghabiskan lebih banyak waktu di rumah itu juga berarti menghabiskan lebih banyak waktu dengan diri kita sendiri, dengan pikiran kita, keinginan kita dan keprihatinan kita. Inspirasi jelas sulit dicapai ketika mata kita hanya membentur empat dinding ruangan. Namun, banyak yang terjadi di dunia di luar mereka. Ada begitu banyak perubahan, penderitaan. Seniman akan bisa menjelajahi hamparan pikiran mereka dengan kreativitas mereka.

Seniman harus bersemangat untuk menciptakan sesuatu yang berbeda yang bisa muncul dari titik balik bersejarah ini. Karya seni yang dihasilkan dari jantung domestisitas. Karya yang lahir dari apa yang dialami seniman di dalam diri sendiri dan bukan dari komponen eksternal kehidupan mereka.

localspins.com

Hingga Saat ini, produksi artistik tetap menjadi teman dalam situasi yang menggelisahkan ini. Entah itu album baru dari artis favorit Anda, atau film yang menghidupkan keajaiban, seni akan tetap menjadi shelter jiwa di saat-saat sulit. Dan salah satu cara di mana setiap orang dapat berkontribusi, selain sumbangan yang sangat membantu yang membuat organisasi artistik tetap hidup, adalah dengan mengakui dan menghormati  karya kreativitas yang dihasilkan.

 

Disadur dari tulisan Laurisa Sastoque di https://dailynorthwestern.com/

Kamis, 25 Juni 2020

Bertolt Brecht dan Historifikasi


Bertolt Brecht

Peristiwa masa lalu atau dari waktu dan tempat lain yang berjarak dengan penonton masa kini digunakan oleh Brecht. "Pastness" dari peristiwa tersebut harus ditekankan. Penonton harus melihat peristiwa yang dapat mereka identifikasi atau situasi yang terjadi

sesuai dengan situasi mereka.  Mereka harus berpikir itu, jika mereka hidup dalam situasi tersebut, mereka akan berusaha dan mengubahnya. Penonton juga harus memiliki perasaan bahwa perubahan itu mungkin.

Masa lalu harus dijadikan pelajaran agar masyarakat bisa membuat perubahan positif di komunitas mereka.

Penonton juga harus dapat melihat bahwa situasi mereka berbeda sekarang dibandingkan masa lalu. Ini untuk menekankan bahwa perubahan sebenarnya mungkin dan perubahan itu sudah terjadi. Kesalahan yang dibuat dalam produksi karya itu tidak boleh dilakukan oleh para penonton. anggota audiens. Masa lalu harus dijadikan pelajaran agar masyarakat bisa membuat perubahan positif di komunitas mereka.

Mother Courage and Her Children from http://jameskarasreviews.blogspot.com/


Historifikasi juga dapat dilihat sebagai cara untuk menciptakan jarak kritis bagi penonton. Peristiwa-peristiwa “aneh yang sengaja dibuat” kelihatan tidak asing, tetapi ditempatkan di waktu berbeda, adalah cara Brecht mencoba mengurangi reaksi emosional di antara penonton.

Historifikasi adalah istilah yang dapat menyebabkan kebingungan. Hanya karena teksnya menampilkan sesuatu yang terjadi di masa lalu, belum tentu menyiratkan bahwa historifikasi digunakan.(ye)


sumber: EPIC THEATRE AND BRECHT


Senin, 20 April 2020

Penulis Naskah Beradaptasi Terhadap Perubahan Pemanggungan

Vanilla Skype, a theater play written by Romanian TV producer CatalinStefanescu
Teater yang sedang porak poranda tidak menghentikan penulis naskah untuk menulis. Karantina telah membuat mereka lebih kreatif, kata Joe Antoun, pendiri dan direktur artistik Centastage, yang menghasilkan penulis naskah lokal. Antoun juga teah lama menjadi pemimpin Write On!, kelompok penulis naskah. Mereka masih melakukan sharing hingga kini dan masing-masing menunjukkan karya-karya yang sedang mereka kerjakan (on progress).

"Penulis kami telah menjadi produktif," kata Antoun. "Tema-tema yang muncul berfokus pada penyatuan kembali dan soal memaafkan, setidaknya itu adalah cerminan dari yang terjadi di masa karantina ini."

Beberapa juga berusaha melakukan perubahan pada karya-karya yang mereka sudah ciptakan untuk diadaptasi dengan situasi saat ini, sebuah momen yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dramawan John Minigan mengakui bahwa dia kesulitan menghasilkan materi baru. Sebagai gantinya, dia merevisi beberapa karya sehingga bisa dipanggungkan dengan cara baru.

"Beberapa (kelompok) teater meminta saya menuliskan naskah khusus yang bisa  ditampilkan dalam format online," kata Minigan. Sebuah teater di Chicago telah menyajikan Rising Sophomore. Sementara sebuah teater yang berbasis di Texas, akan menyajikan karya tersebut kemudian.

“Saya awalnya menulis Rising Sophomore sebagai sebuah monolog, tetapi sekarang ini adalah menjadi permainan dengan dua karakter,” kata Minigan. “Idenya adalah bahwa sementara di karantina, pelaku intimidasi (bully) memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan kembali tindakannya, dan menjadi akrab dengan korbannya. Mereka terlibat perbincangan bersama dalam situasi itu. ”

Dramawan Greg Lam harus merawat putrinya yang berusia 8 tahun di rumah. Sementara istrinya, seorang geriatric (ahli fisiologi untuk orang jompo) harus bekerja di rumah sakit. Greg Lam memberikan fokus pada lakon-lakon pendek sehingga ia dapat mempertajam segi dramatiknya. Ia juga berpendapat bahwa media baru mendorong penulis naskah dan sutradara untuk menjadi kreatif.


“Saya menulis lakon bertema sci-fi berdurasi10 menit yang diproduksi Boston Theatre Marathon,” kata Lam. Lakon berjudul “Intervensi” itu ditayangkan 20 April 2020 menggunakan aplikasi Zoom. "Saat latihan, sutradara menyarankan untuk meletakkan tisu di depan kamera agar aktor terlihat seperti seseorang yang keluar dari udara tipis. Aktor juga bermain dengan latar belakang Zoom untuk membantu mengatur pemandangan."

Lam juga bekerja sama dengan kelompok teater Liars & Believers untuk membuat animasi untuk salah satu drama pendeknya. Dalam minggu-minggu sejak wabah coronavirus memaksa orang untuk berpisah, situs Liars & Believers dan halaman Facebook telah menjadi “panggung” untuk berbagai macam karya seni.

Jason Slavick,pendiri dan direktur artistik Liars & Believers
“Keadaan ini sangat mengkhawatirkan ketika semuanya ditutup. Kelompok kami banyak melakukan kerja kolaboratif," kata Jason Slavick, pendiri dan direktur artistik Liars & Believers. "Hingga kemudian saya ingat bahwa sebagai seniman, kami memiliki kapasitas sebagai “penyembuh.” Teater memang bukan unsur pertama yang merespon keadaan ini, tetapi kami bisa memberikan sesuatu untuk mendukung mereka yang dengan bijaksana tetap tinggal di rumah dan kami mencoba turut meringankan hidup mereka." (ye)

sumber: By Terry Byrne, https://www.bostonglobe.com;

Sabtu, 28 Maret 2020

Wabah Penyakit dan Proses Kreatif Shakespeare

William Shakespeare

Wabah penyakit menyebar di Inggris pada tahun 1606. Banyaknya kematian akibat wabah itu menyebabkan penutupan gedung-gedung pertunjukan teater. Bencana memberi dampak buruk pada William Shakespeare, tetapi sekaligus memicu perubahan karir profesionalnya. Shakespeare lolos dari wabah yang mengubah dunia teater yang ia geluti.

James Shapiro menuliskan kembali kisah Shakespeare dan wabah di London itu dengan judul How Shakespeare’s great escape from the plague changed theatre. Tulisan itu dimuat di The Guardian terbitan 24 September 2015.

The King's Men, grup teater milik William Shakespeare menurunkan bendera mereka di gedung teater Globe di London. Hal itu dilakukan bersamaan dengan pengelola gedung pertunjukan tempat lakon-lakon Shakespeare biasa dimainkan. Peritiwa itu terjadi menyusul wabah penyakit muncul di Inggris. Dua tahun sebelumnya wabah serupa berjangkit di London dan telah merenggut jiwa lebih dari 30.000 warga London. Oleh karena itu, Dewan Penasihat Kota (DPK) memutuskan bahwa semua bentuk tontonan harus berhenti. Itu adalah keputusan terakhir setelah DPK mendapati jumlah mereka yang meninggal dunia meningkat setiap minggu. Mereka menemukan bahwa korban jiwa berada pada angka "di atas jumlah 30" setiap minggu.

Semula ada kelonggaran berkait keputusan itu. Grup-grup sandiwara sekadang masih melakukan pertunjukan karena alasan kebutuhan nafkah. Pembengkokan aturan itu mereka lakukan ketika wabah kematian merosot di bawah angka 40 setiap minggu. Catatan DPK berkait keadaan masa itu telah hilang dalam kebakaran pada tahun 1618, sehingga kita tidak akan pernah tahu persis pada angka berapa tepatnya yang menjadi penentu penutupan. Tetapi pada akhir Juli 1606, jumlah korban jiwa wabah yang mematikan jauh di atas angka itu dan angka cenderung meningkat dari minggu ke minggu. Akhirnya semua tontonan berhenti, setidaknya selama musim panas.

Gejala-gejala wabah penyakit itu mengerikan: demam, denyut nadi yang berdetak kencang dan sesak napas, rasa sakit di punggung dan kaki, tenggorokan kering dan kehilangan keseimbangan. Bahkan sebagian orang juga menderita “sakit kepala hebat disertai perasaan berat, kecemasan, dan kesedihan”. Buboes – benjolan karena pembengkakan keras kelenjar getah bening - akan muncul di pangkal paha, ketiak atau leher. Jika benjoan itu pecah, maka penderita mengalami rasa sakit yang luar biasa. Kemudian penderita mengalami kesulitan berbicara. Jika keadaan makin parah, maka penderita akan mengigau sebelum ia mengalami gagal jantung pada akhirnya. Para korban berusia 10 hingga 35 tahun.

Wabah penyakit menular pernah menjadi ancaman pada seluruh warga London termasuk Shakespeare. Di sisi lain, bencana ini juga menjadi ruang pertumbuhan kreatif penulis kondang abad ke-16 ini. Peneliti sejarah drama menyebut bahwa wabah itu mengilhami William Shakespeare ketika ia menulis karya mulai dari Romeo dan Juliet hingga Macbeth. Ben Cohen menuliskan sekelumit kisah itu dalam tulisannya berjudul The Infectious Pestilence Did Reign yang dimuat di Slate 10 Maret 2020.

Cohen mengawali tulisannya dengan sebagian kisah kelahiran Shakespeare. Cohen memberitahukan William Shekespeare sendiri lahir saat wabah penyakit menular melanda Inggris tahun 1564. Wabah itu melenyapkan sebagian besar penduduk. Siapa yang hidup dan yang mati tampaknya adalah masalah keberuntungan saat itu. Wabah itu menyerang hingga melenyapkan banyak keluarga. Termasuk sebuah keluarga yang tinggal di jalan bernama Henley Street. Di sana, pasangan muda sudah kehilangan dua anak karena gelombang wabah sebelumnya. Kini, mereka harus menjaga putra mereka yang baru lahir berusia 3 bulan ketika itu. Mereka mengunci pintu dan jendela rapat-rapat untuk mencegah wabah datang menyerang rumah mereka lagi. Mereka belajar dari pengalaman malang mereka sebelumnya bahwa bayi sangat rentan terhadap penyakit mengerikan ini. Hingga keajaiban terjadi, karena saat wabah terjadi kota kecil bernama Stratford-upon-Avon tempat tinggal mereka, bayi mereka selamat.  Akhirnya, pasangan itu menghela napas lega bahwa anak laki-laki mereka masih hidup. Nama anak lelaki itu adalah William Shakespeare.

Apakah sejarah kelahiran Shakespeare yang akrab dengan wabah ini membuat ia bisa mengatasi bencana wabah dalam perjalanan kreatifnya? Ada jawaban bersifat spekulasi atas pertanyaan tersebut. Ada kemungkinan bahwa Shakespeare memiliki kekebalan terhadap wabah karena ia pernah terpapar wabah saat masih bayi. Tetapi yang jelas wabah menjadi senjata rahasia Shakespeare. Dia tidak mengabaikannya. Dia memperoleh kesempatan dari situasi itu.

Hal unik terjadi saat wabah membuat gedung-gedung pertunjukan di London tutup, Keadaan itu memaksa grup teater Shakespeare, The King's Men, untuk berpikir kreatif dalam menciptakan kemasan pertunjukan. The King’s Men melakukan pentas keliling ke daerah-daerah kecil di Inggris. Mereka mencari tempat perhentian di kota-kota kecil yang belum terserang wabah. Pada saat itu juga Shakespeare menemukan banyak waktu yang lebih baik untuk menulis. "Ini berarti hari-harinya bebas, untuk pertama kalinya sejak awal 1590-an, termasuk juga untuk berkolaborasi dengan penulis naskah lain," tulis Shapiro dalam bukunya The Year of Lear: Shakespeare pada 1606.

Wabah dii London
Shakespeare juga melahirkan lakon-lakon Raja Lear, Macbeth, dan Antony dan Cleopatra pada masa sulit itu. Shapiro menyebut karya-karya itu sebagai tiga lakon tragedi yang sangat luar biasa.  Penulis biografi Shakespeare itu juga berkata, “Kita tahu lebih banyak tentang bagaimana wabah (pes) 1606 mengubah kontur kehidupan profesional Shakespeare, merombak dan menghidupkan kembali grup, merubah strategi persaingan (dengan grup lain), mengubah komposisi penonton siapa yang akan jadi target tulisannya (jenis drama apa yang ia harus tulis), dan memungkinkannya untuk berkolaborasi dengan musisi dan penulis naskah yang berbakat lain."

Cohen menambahkan bahwa Shakespeare bukan penulis metronomic (mekanis seperti robot). Dia memiliki keluasan imajinasi. Dia menulis secara mengalir dan hal yang mengalir itu berasal pada kekuatan di luar kendalinya. Shakespeare mampu mengubah periode pergolakan yang hebat dalam masyarakat (wabah) menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda: rentetan kesuksesan yang tak terduga dalam sejarah. (ye)

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...