Senin, 24 November 2008

SIEM 2008: strategi kebudayaan yang dibayangkan


Sungguh menarik membaca tulisan berjudul SIEM sebagai Strategi Kebudayaan oleh Puji Widodo (Solopos 22/10). Saya membayangkan bahwa seandainya gagasan dalam tulisan tersebut disampaikan jauh hari sebelumnya maka panitia SIEM 2008 mungkin akan bisa menggunakannya untuk memperkokoh gagasan ideal kegiatan SIEM dalam proposal mereka. Apalagi memang demikianlah adanya secara teori dan ideal sebuah strategi kebudayaan yang harus dilakukan oleh sebuah negara. Sebagaimana kutipan dari salah satu bagian tulisan tersebut, yaitu ....padahal kesenian (termasuk musik) dalam masyarakat mempunyai posisi, dan fungsi dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan estetika, etika, spiritualitas, identifikasi, komunalitas dan juga ekonomi. Dan tulisan tersebut juga mencoba hadir sebagai saran ideal strategi kebudayaan bagi bangsa yang multikultur yang rentan oleh konflik oleh karena ketegangan-ketegangan yang kadang muncul.

Teori besar memang patut dijadikan acuan, tetapi dalam penerapan selayaknya selalu berpijak pada kontek dan situasi yang ada.Hal tersebut juga perlu dalam pelaksanaan perhelatan musik berkelas internasional ini. Pelaksanaan SIEM 2007 yang dianggap sukses, terutama diwakili oleh munculnya beberapa pemberitaan di media massa dan jumlah penonton sebagai indikatoranya masih harus terus menyempurnakan strategi kebudayaan yang akan dibangun kegiatan ini.
SIEM diniati para pemrakasanya sebagai kebutuhan kultural yang disediakan bagi masyarakat. Pembayangan akan masyarakat dan kebutuhannya akan kesenian khususnya musik diterjemahkan panitia dengan kegiatan ini. Masyarakat yang dibayangkan sebagai target penonton diharapkan membuat hidup sajian yang dihadirkan, sebagaimana gagasan SIEM untuk membawa kesenian hidup di tengah masyarakat. Hal ini sangat menarik untuk diperhatikan, sebab untuk meraih tujuan itu bagaimanapun pola kerja industri harus dilakukan. Sebab SIEM sebagai panggung seni yang sebenar-benarnya menghadirkan musik etnik masih bisa diperbincangkan. Identitas etnik macam apa yang diberlakukan untuk perhelatan musik akbar ini. Apakah para pelaku seninya yang hadir dari beragam latar belakang etnis? Apakah alat musiknya? Apakah bentuk sajian musiknya yang mencirikan etnis tertentu? Bagaimanapun hari ini adalah jaman global. Ruang dan waktu seakan tak terbelah oleh karena kemajuan tehnologi. Oleh karena itu, semuanya bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Sehingga memunculkan bentuk-bentuk budaya hibrid, yang juga muncul di dunia musik. Dalam wilayah ini, serpih-serpih bermacam etnis juga muncul tetapi tidak bisa begitu saja menjadikan jenis musik ini sebagai musik etnis. SIEM 2008 diharapkan juga menjadi ajang memecahkan persoalan antara yang hibrid dan yang etnis dan hasilnya bisa jadi pengetahuan masyarakat.

Gagasan SIEM 2008 juga memiliki tujuan membawa Kesenian tumbuh di tengah masyarakatnya. Hal ini tentu saja menjadikan SIEM 2008 sebagai sebuah gerakan kultural yang harus didesain sedemikian rupa. Sebab apa yang dihadirkan di SIEM 2008 bukanlah sepenuhnya milik dari masyarakat lokal (Surakarta) sebagai penontonnya. Dalam masalah ini, dipastikan akan terjadi kegiatan mendesain sebuah kebudayaan. Sebenarnya karakter penonton lokal sangat terbuka terhadap berbagai bentuk sajian berlatar belakang etnis beragam. Hal itu paling tidak jika menggunakkan ukuran jumlah penonton di SIEM 2007. Sebab ada semacam perasaan dan ruang kejiwaan yang sama dalam diri manusia ketika menyerap sesuatu yang etnis apapun itu. Oleh karena itu, “kekuasaan” penyelenggara dalam mendesain acara ini juga harus mampu meletakkan istilah internasional dalam tajuk SIEM. Sebab pertemuan dua, yaitu international dan ethnic tersebut harus bisa dijelaskan. Hal itu berhubungan dengan semangat membangun apresiasi masyarakat. Sehingga tidak terjebak kelatahan, yaitu menyertakan kata internadional untuk setiap acara yang melibatkan manusia berbagai bangsa. Di satu sisi, bukankah ketika kita bericra musik etnik berarti juga bisa mencakup berbagai bangsa?

Perubahan adalah sebuah gagasan universal yang selama ini dianggap elegance dan mulia untuk tujuan berbagai kegiatan semacam SIEM. Selain perubahan pola pikir dan ruang psikologis, SIEM diharapkan mampu mendorong perubahan di wilayah politik dan ekonomi. SIEM sebagai sebuah kegiatan strategi kultural sesungguhnya telah menjadi bagian dari politik kebudayaan. Masalahnya kepentingan siapa yang bakal dimenangkan? Kesenian dalam hal ini memiliki kekuatan posisi di mana? Masyarakat diwacanakan sebagai apa? Idealnya semua harus dapat porsi yang seimbang, mengingat niatan semula menjadikan kegiatan ini tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Sementara dari kebutuhan perubahan ekonomi, hal ini sangat mungkin terjadi. Bukankah di setiap perhelatan kesenian, mulai dari kelas “kampung” hingga kelas konser musik di convention hall selalu membikin dampak perubahan ekonomi? Mulai dari tukang parkir hingga event organizer bisa meraih untung. Lantas strategi apa yang bisa dilakukan sebuah perhelatan kesenian macam SIEM ini untuk turut mendorong perubahan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang? Baik ekonomi mikro maupun makro.
SIEM 2008 juga memiliki gagasan sebagai alat perjuangan kultural. Sebuah upaya mencicipkan musik etnik kepada masyarakat lokal, sebab musik etnik telah menjadi bagian dari kebudayaan global. Oleh karena itu strategi media diupayakan dilakukan dengan baik. Kemasan memang segalanya di jaman ini, tetapi atas nama perjuangan kultural, hendaknya semua dilakukan dengan ketulusan. Strategi media yang dibangun penyelenggara SIEM 2008 diharapkan tidak berjarak dengan kenyataan produknya. Masyarakat kita sudah sering menjadi konsumen dari berbagai pencitraan kosmetik yang belakangan hadir dalam berbagai media.

SIEM 2008 bernilai produksi 1 miliar lebih. Di luar jumlah tersebut besar atau kecil, maka yang dituntut kepada kepanitiaan bagaimana terwujud yang namanya “ana rego ana rupa,” Sebab banyak gagasan lain yang mungkin juga strategis yang bisa dilakukan dengan jumlah dana tersebut. Atau setidaknya tetap dengan SIEM 2008, tetapi dengan desain yang tidak kalah strategis sebagai alat perjuangan kultural dan jawaban atas kebutuhan kultural sebuah bangsa sebagaimana gagasan idealnya. Sebab sebenarnya masih ada yang tertinggal dari gagasan SIEM 2008 kali ini, yaitu bagaimana masyarakat tidak hanya hadir sebagai penonton, yang ujung-ujungnya jumlah kehadirannya menjadi indikator kesuksesan acara belaka. Bagaimana menjadikan SIEM 2008 lebih “cair” dan tidak sekedar “alat perjuangan” kesenian semata? Kota Surakarta terdiri atas 5 kecamatan dan 51 kelurahan yang menarik sebagai lahan garap bagi perhelatan yang memiliki spirit perjuangan kultural ini. Sehingga ketika seluruh wilayah tersebut dikerjakan, maka SIEM boleh jadi perhelatan akbar seluruh warga kota. Perubahan yang dirindukan oleh gagasan SIEM bukan lagi sekedar kegiatan yang terpusat di satu tempat. Bentuk kegiatan yang bersifat internasional pasti memang sudah memiliki pakem, tapi apakah tidak ada kemungkinan adaptasi dengan konteks lokalitas (karakter masyarakat dan sebagainya) yang ada. Apalagi ada embel-embel etnik dalam perhelatan ini, yang dipastikan sangat terbuka dengan berbagai keragaman.

Sabtu, 28 Juni 2008



FESTIVAL MONOLOG 2008:
KEBANGKITAN AKTOR DAN KEGAGAPAN SUTRADARA
Oleh Y.E. Marstyanto


Festival Monolog 2008 telah berlangsung di Teater Kecil ISI Surakarta, tanggal 12-13 Maret 2008. Ajang unjuk kemampuan aktor tingkat SMTA se-eks karesidenan Surakarta ini diselenggarakan oleh UPT Ajang Gelar ISI Surakarta. Inilah festival monolog tingkat SMTA pertama yang terjadi di Kota Surakarta. Meski di bidang ajang tanding olah peran, pelaksanan festival ini bukan yang pertama kali dan satu-satunya. Sebab Teater Gidag Gidig Surakarta juga memiliki acara rutin dua tahunan yang dikenal sebagai Festival Teater SLTA yang sudah berlangsung sejak 1989.

Festival Monolog 2008 ini adalah sebuah program kelanjutan dari kegiatan workshop tata cahaya yang diselenggarakan UPT Ajang Gelar ISI Surakarta yang juga diikuti pelajar SLTA beberapa waktu sebelumnya. Intinya, kegiatan tersebutadalah sebuah upaya ISI Surakarta membangun citranya di kalangan pelajar SLTA untuk selanjutnya mendorong minat mereka menempuh pendidikan di lembaga pendidikan seni tersebut. Meskipun di satu sisi, kegiatan ini juga sangat penting bagi para siswa SLTA yang bergelut di dunia seni peran. Mereka akan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang panggung dan unsur-unsur di dalamnya. Di mana aksi monolog mereka bertemu dengan ruang pertunjukan representatif, yaitu Teater Kecil ISI Surakarta.

Para peserta hadir dari berbagai SMU dan SMK yang ada di Karangpandan-Karanganyar, Wonogiri, dan Surakarta. Jumlah peserta dalam festival ini terhitung sedikit jika dibandingkan dengan kegiatan “sejenis” yang diadakan rutin oleh Teater Gidag Gidig. Dari sejumlah 11 peserta yang mengikuti festival ini, sebetulnya hanya hadir dari 8 sekolah. Karena ada tiga sekolah yang mengirim 2 orang wakilnya di festival ini. Padahal festival teater SLTA yang diselenggarakan TGG rata-rata diikuti 15 kelompok yang mewakili 15 sekolah berbeda.

Festival Monolog yang baru pertama kali diadakan ini juga merupakan wadah kebangkitan bagi aktor muda (SLTA) di Surakarta dan sekitarnya. Tetapi tidak demikian di wilayah penyutradaraan. Sebab dari ke-11 garapan monolog yang ditampilkan hampir semuanya begitu kuat menyiratkan dominasi sutradara (pelatihnya). Sebagai contoh bagaimana sering terasa aktor di atas panggung sebenarnya masih berjarak dengan naskah yang dimainkannya. Hal ini juga sebenarnya adalah persoalan pemilihan naskah yang pasti ditentukan oleh sang sutradara. Misalnya pada lakon Topeng-Topeng karya Rachman Sabur yang dimainkan BRA Isabela Ratu. Wakil SMUN 3 Surakarta ini tampak sedikit kesulitan memahami kalimat-kalimat dalam naskah. Makna-makna filososfis dan bersayap dalam naskah terlalu datar disampaikan baik lewat dialog maupun acting. Hal ini bisa saja terjadi karena sang sutradara Eko Wiyanto sendiri juga belum tuntas memahami naskah tersebut. Hal serupa juga terjadi pada penampilan Ririn Rasputin yang mewakili SMK Sahid Surakarta. Dia tampil membawakan lakon berjudul Wajah karya dan sutradara Santosa, S. Pd. Meskipun naskah ini merupakan karya pelatih dan sutradaranya sendiri tapi agaknya juga belum mampu diungkapkan dengan baik oleh Ririn. Meskipun di satu sisi, gagasan naskah ini juga mash lemah, Naskah ini tidak menghadirkan tokoh darah daging, tetapi semacam tokoh menyampaikan berbagai pertanyaan tentang wajahku, wajahmu, dan wajah kita. Karakter tokoh cukup sulit diindentifikasi dalam naskah ini. Apalagi ketika naskah ini membicarakan “wajah” sang sutradara memilih make up wajah dan ilustrasi musik bernuansa Jepang. Apa hubungannya?

Persoalan dalam naskah memang menjadi hal paling kentara dalam festival ini. Sebab wilayah basic itulah yang akan melandasi keseluruhan bentuk pementasan. Termasuk juga masalah adaptasi naskah seperti yang ditampilkan Fairus Salicha Khairunisa yang memainkan naskah Penangkapan Sukra karya Gunawan Muhammad. Wakil dari SMUN 2 Surakarta ini sebenarnya adalah sosok aktor perempuan yang bagus secara teknis, baik vokal maupun gerak tubuh. Tapi Drs. Sriyono, sang sutradara, sekedar mencasting dia sebagai Sukra, tokoh pemuda lugu nan tampan dan rupawan dalam naskah itu. Persoalan bahwa sang aktor adalah perempuan dan tokoh dalam naskah adalah laki-laki, kurang serius dipikirkan sang sutradara. Sehingga sang tokoh pembela kebenaran dan keadilan dalam cerita itu sangat membingungkan jenis kelaminnya. Seandainya saja Penangkapan Sukro diadaptasi sedemikian rupa untuk pemain sekualitas Fairus. Demikian pula sutradara Yustinus Popo ketika memilih lakon Aku Pasti Pergi (adaptasi naskah Merdeka Sakit karya Hanindawan) telah gagal menempatkan aktornya bermain maksimal di atas panggung. Merdeka Sakit karya Hanindawan bercerita tentang tokoh bernama Merdeka yang “disakitkan” oleh seluruh anggota keluarganya. Kemudian dia memutuskan untuk pergi dari “rumahnya.” Sebuah naskah yang berbicara tentang sesuatu yang besar lewat sebuah lingkup keluarga. Aku Pasti Pergi mencoba memfokuskan diri pada sosok Merdeka yang memutuskan pergi dari rumah. Tapi adaptasi ini hanya sekedar menjadi sebuah naskah yang dipotong-potong untuk mengambil bagian-bagian yang dianggap perlu.

Sebagian naskah yang dibawakan para peserta adalah naskah-naskah karya penulis dan dramawan senior. Misalnya wakil Teater Biroe SMU Yosef Surakarta, SMUN 2 Surakarta, dan SMUN Karangpandan menggarap naskah Blok karya Putu Wijaya; wakil SMUN 3 membawakan naskah Aeng karya Putu Wijaya; Teater Bungkus SMUN 2 Wonogiri menggarap naskah Bersamadi karya penulis Jepang tidak dikenal abad ke-15. Dari antara 11 karya yang ditampilkan dalam festival tersebut, hanya sebanyak 3 naskah tulisan sutradara maupun pelatihnya sendiri. Karya-karya tersebut adalah Wajah karya Santosa, S. Pd (SMK Sahid Surakarta), Bayang-bayang Wayang yang dimainkan sendiri oleh penulisnya, Kusnanto Riwus Ginanjar yang mewakili SMU MTA Surakarta; dan Srintil karya Pardiatmoko, S. Pd (SMUN 2 Wonogiri).

Festival Monolog 2008 juga ajang yang menarik untuk menyaksikan kemampuan aktor muda. Puti Iramasani cukup lepas memainkan perannya dalam lakon Aeng karya Putu Wijaya. Siswi yang mewakili Studi Teater SMUN 3 Surakarta ini membuka permainannya dengan tergolek di atas meja yang disorot lampu spot. Dari sana ia menggulirkan dirinya sebagai tokoh narapidana yang menanti detik-detik menjelang hukuman mati. Rasa kesepian tokoh ditampilkan lewat adegannya berbicara dengan kecoak dan topi. Agustinus Rudy cukup mampu memahamkan naskah tersebut kepada pemainnya. Sehingga pemain tak sekedar terjebak dalam laku teknis. Karya Putu Wijaya lain, Blok, juga mampu dimainkan dengan gemilang oleh Mufied Fauziah. Wakil SMUN Karangpandan-Karanganyar ini cukup memukau dengan penampilan sosok perempuan tua yang diperankannya. Naskah Blok menyatu dengan tubuhnya. Naskah dan tubuh berlomba saling menghidupkan satu sama lain. Perempuan tua hadir dalam perjumpaan dan penceritaan pada seorang muda yang punya harapan mengubah dunia. Ia tergila-gila menjadi presiden padahal bakat terbesarnya adalah membadut. Keindahan olah peran yang ditampilkan didukung oleh penyutradaraan yang baik dari M. Dolly. Interior meja dan dua kursi rotan sederhana serta pencahayaan yang detil membuat sajian ini enak ditonton. Sementara penonton disuguhi tontonan segar berjudul Srinthil karya Pardiatmoko, S. Pd. Lakon ini disajikan oleh Wasti yang mewakili Teater Bungkus SMUN 2 Wonogiri. Srinthil adalah lakon bernuansa komedi dengan alur cerita sederhana tetapi dengan sejumlah kejutan di beberapa bagian pementasannya. Srinthil bercerita tentang Srinthil yang mencari Robi, sang kekasih, yang meninggalkannya. Meskipun lakon ini tergolong “ringan” dan mudah dicerna penonton, tetapi yang membuat tidak sederhana adalah kemampuan olah peran yang dimiliki Wasti. Sang sutradara, Pardiatmoko, S. Pd mampu mengarahkan acting pemainnya pada setiap timing yang tepat. Sebuah tontonan komedi yang ternyata bisa ditampilkan dengan elegance oleh aktor SLTA.

Pada akhirnya Festival Monolog 2008 memutuskan tiga penampil terbaik (begitulah keputusan panitia untuk menyebut tiga aktor pemenang tanpa peringkat). Mereka adalah Puti Irana Sani (Studi Teater SMUN 3 Surakarta); Mufied Fauziah (SMUN Karangpandan-Karanganyar); dan Wasti (Teater Bungkus, SMUN 2 Wonogiri). Para pemenang didominasi peserta dari luar Surakarta yang kebetulan juga dibimbing oleh para pelatih dan sutradara muda. Masing-masing pemenang memproleh trophy dari Rektor ISI Surakarta dan uang pembinaan masing-masing sebesar 1 juta rupiah.


*) Penulis adalah alumni peserta Festival Teater SLTA se-Surakarta


Selasa, 24 Juni 2008

Agenda Akhir Minggu


Pangsuma dan Macaning

Pangsuma adalah tokoh pejuang perintis kemerdekaan yang berasal dari etnis Dayak. Pangsuma terlibat dalam perjuangan fisik di masa pendudukan Jepang (1942-1945) di wilayah kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat). Pasungma menjadi pemimpin gerakan perjuangan melawan penjajah bagi semua etnis di masa itu. Berbagai etnis di wilayah Sanggau, seperti Dayak, Melayu, dan Tionghoa sangat sangat terinspirasi oleh kredonya yang terkenal, yaitu Daripada Hidup Berputih Mata, Lebih Baik mati perutih Tulang.

Pangsuma diangkat kembali dalam sebuah seni pertunjukan berjudul “Pangsuma (Kisah Perjuangan Perang Majangdesa)”. Sajian seni pertunjukan ini akan mengkolaborasikan antara teater, tari dan musik. Kekuatan berbagai tradisi di Kabupaten Sanggau akan sangat dikedepankan dalam pertunjukan ini. Eksotisme kekayaan budaya lokal dari etnis-etnis yang ada seperti Dayak, Melayu, dan Tionghoa diharapkan menjadi daya tarik pertunjukan ini.

Pertunjukan berjudul “Pangsuma (Kisah Perjuangan Perang Majangdesa)” ditulis dan disutradarai oleh David Dino Wijayanto, S. Sn. Selain juga didukung oleh sejumlah seniman dan seniwati dari Kabupaten Sanggau. Pertunjukan tersebut akan berlangsung Minggu, 29 Juni 2008 di Padepokan Lemah Putih, Plesungan, Mojosongo.

Sedangkan, pada Senin, 30 Juni 2008, Padepokan Lemah Putih akan menghadirkan program rutin sebulan sekali, Macaning. Kali ini, Macaning akan menampilkan dua sajian bernuansa sastra. Sajian pertama sebuah pertunjukan puisi doa oleh Arsono. Dia adalah seorang penggiat teater dan juga vokalis sebuah kelompok musik. Saat kuliah, Arsono pernah bergabung dengan Kelompok Teater Wejang FKIP UMS.

Kemudian, penyaji kedua adalah Yuditeha, seorang cerpenis dan penyair. Penggiat sastra dan Ketua Himpunan Pengarang Karanganyar (HPK) 'Ayo Nulis' ini akan menghadirkan musikalisasi puisi. Bentuk lain dari karya-karya puisinya tersebut diharapkan dapat lebih menyentuh sewaktu kepada penikmatnya.

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...