Selasa, 15 Agustus 2017

TEHNOLOGI DIGITAL DAN IMAJINASI SENI TEATER


Tehnologi digital menjadi hal dalam dunia seni teater. Sebagai hal baru maka dia selalu menggelisahkan, baik dalam pengertian ancaman maupun keuntungan. Apalagi kemajuan tehnologi berkaitan audio-visual melaju seolah tanpa kendali. Penemuan-penemuan baru dan lebih ringkas dalam soal editing misalnya semakin mudah diperoleh (diunduh). Di sisi lain, harga software dan hardware semakin terjangkau kalau tak boleh dikatakan murah. Keadaan ini sudah dan semakin mengalir ke wilayah kegiatan teater. Beberapa karya pertunjukan teater mulai membutuhkan kehadiran kecanggihan tehnologi audio-visual terkini. Kritikus teater di Barat menyebut hal baru ini sebagai technodrama atau mixed reality.
sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/1c/61/4a/1c614aceea3c62b4c8cd812b5b0fceb0--d-video-projection-mapping.jpg
Perancang video (video designer) menjadi profesi baru yang akan terpampang di credit title atau susunan pelaku produksi di undangan dan pamflet pertunjukan. Video designer ini rata-rata didominasi oleh mereka yang dikategorikan sebagai generasi millineal (kelahiran 1980an s.d. 1999). Mereka lahir di sebuah habitat digital yang menuntut penguasaan tehnologi informasi di dalamnya.
Para kritikus Barat menyebut karya-karya produksi teater yang didukung kekuatan tehnologi semacam itu disebut technodrama. Penonton tidak hanya disuguhi kepiawaian para aktor, tetapi mereka juga melihat gambar-gambar 3D di atas panggung pertunjukkan. Tubuh-tubuh dan dinding gedung pertunjukan menjadi ruang tembak proyektor. Tampilan visual itu juga didukung penataan suara yang menciptakan kesan “surround.”  
Timothy Bird, seorang perancang video asal London membanggakan karyanya dengan berkata, “kualitas gambar 3D yang diproyeksikan tanpa mengharuskan penonton menggunakan kaca mata khusus.” Karya-karya 2D-nya juga bisa dilakukan dengan cara diproyeksikan pada set-set panggung berbagai bentuk, tidak hanya pada bidang datar seperti biasanya.” 
Karya-karya video designer itu juga disebut video mapping.  Banyak orang (muda) memang sedang gemar dan tergoda merambah media baru tersebut. Seperti Bird sendiri direwangi pindah dari dunia televisi ke teater karena ia merasa memiliki ruang bermain dengan media ini di teater. Atau William Dudley meninggalkan suasana kerja tradisional sebagai penata panggung untuk beralih ke digital.  Penata panggung dari AS ini menggunakan proyeksi video pertamanya pada 2002 di National Theatre AS.
sumber: https://troikatronix.com/wp-content/uploads/2016/09/witlen-interview-1-1560x920.jpg
Kehadiran tehnologi baru itu bukannya bebas kritik. Kritikus teater, Matt Wolf menyadari bahwa tehnologi baru itu pasti memiliki tujuan di tengah jaman ini. Di mana ketidakaturan dan keruwetan hidup sekadang menurunkan tingkat perhatian orang.  Tetapi kritikus International Herald and Tribune itu juga memperingatkan bahwa tehnologi juga bisa menjadi layanan untuk menggeser kekuatan imajinasi.
Sutradara memiliki peran besar mengendalikan sebelum semua yang terjadi di atas panggung. Sutradara masa kini perlu memahami tehnologi sedemikian rupa sehingga dia tidak tenggelam apa yang ia kerjakan. Keterpukauan pada tehnologi bisa membawa diri sutradara kalut hanyut membuat semua adonannya dalam “loyang tehnologi.” Dia bisa gagal memilah bagian-bagian mana yang butuh artikulasi “darah daging” dan “tehnologi.” Timothy Bird memberi pendapat soal ini, yaitu jika sutradara hanya sekedar meletakkan tehnologi dalam produksinya, maka hal itu menjadi sebuah gimmick palsu. Penggunaan trick harus demi menjaga tetap hidup apa saja yang ada di atas panggung termasuk elemen manusia di dalamnya.
Sebagian sutradara konvesional mungkin masih semacam “alergi” pada tehnologi. Perasaan itu bisa disebabkan mereka tidak menguasai atau tidak memiliki selera menggunakan kecanggihan tenhnologi semacam itu. Tetapi sebenarnya bentuk-bentuk pertunjukan klasik atau tradisional sudah bergaul erat dengan tehnologi. Ketoprak-ketoprak pesisir Utara Jawa sudah memfaatkan tehnologi-tehnologi pemanggungan, semacam tehnik terbang dan lain sebagainya. Bondan Nusantara menyebutkan bahwa panggung ketoprak sudah menggunakan pencahayaan dramatis tahun 1930an. Lampu petromak ditambahi oleh kertas berwarna-warni untuk menimbulkan berbagai efek dramatis. Saat ini, Ki Asep Aceng Amung Sutarya memanfaatkan animasi untuk mendukung pertunjukan wayang goleknya.  Dalang ini membutuhkan tehnologi supaya wayang golek memiliki daya tarik terutama pada anak muda.
“Saya berupaya untuk membuat teater seajaib film,” kata Dudley suatu kali. Kontan saja pendapat itu menuai reaksi. Sebagian orang mengatakan bahwa bagaimanapun keunikan dan keajaiban yang dihasilkan oleh pita siluloid tak bisa tergantikan. Selain itu semua yang tersajikan lengkap di atas panggung dengan kekuatan tehnologi sepenuhnya berpotensi mengeringkan ruang imajinasi penonton. Dengan demikian technodrama atau mixed reality hanya menjadi sebuah tontonan spektakuler belaka.

Sumber: http://www.bbc.com/news/technology-17079364

Fungsi Teater bagi Kehidupan Manusia

Theatre company YesYesNoNo is committed to live-streaming its show The Accident Did Not Take Place in the near future Teater membantu kita m...