Rashomon
menjadi salah satu lakon asing populer di dunia pertunjukan teater Indonesia.
Jumlah angka yang besar mungkin akan muncul jika ada yang menghitung berapa
kelompok teater pernah mementaskan naskah karya Ryunosuke Akutagawa ini. Naskah
ini tentu saja memang memiliki daya tarik tersendiri. Bahkan sutradara film
sekelas Akira Kurosawa pun mengangkatnya ke layar lebar. Meskipun tentu saja,
ada pertimbangan tertentu bagi Kurosawa ketika ia membawa Rashomon ke layar
lebar pada tahun 1950. Kurosawa mungkin melihat pergulatan Ryunosuke dalam
karya ini juga menjadi pergulatannya sebagai sama-sama orang Jepang (meskipun
mereka lahir dalam selisih 8 tahun).
Ryunosuke
memotret krisis kemanusiaan yang terjadi di tengah bangsanya (Jepang) lewat Rashomon
dan In a Grove. Dua cerpen inilah yang kemudian menjadi naskah drama berjudul Rashomon.
Naskah Rashomon yang diterjemahkan oleh Djohan A. Nasution paling banyak
digunakan oleh berbagai kelompok teater di Indonesia. Djohan sendiri
mementaskan lakon terjemahan itu di Taman Ismail Marzuki tahun 1970. Ia
mengusung lakon itu bersama aktor-aktor yang tergabung dalam TENA (Teater
Nasional Medan). Djohan dalam pengantar naskah juga menyebutkan bahwa ia
menuliskan lakon itu berdasar dua cerpen Ryunosuke Akutagawa, yaitu Rashomon
dan Pepohonan (In a Grove atau Yabu no Naka).
Rashomon (2014) oleh The Jing-Ju Opera Troupe of National Taiwan College of Performing Arts |
Rashomon
terletak di Kota Kyoto saat ini. Bangunan ini adalah gerbang kota yang dibangun
dengan megah selama Periode Heian (749-1185). Bangunan itu dibangun tahun 789 ini
memiliki lebar 32 meter dan tinggi 7,7 m dan sebuah tembok batu setinggi 23
meter yang di atasnya terdapat tiang menjulang. Periode Heian adalah masa
ketika Buddhisme, Taoism dan pengaruh Cina mencapai puncaknya. Periode ini
dianggap sebagai puncak kejayan kekaisaran Jepang dan banyak memunculkan
karya-karya seni khususnya puisi dan sastra. Pada masa itu juga terjadi pemberontakan
di Cina dalam beberapa tahun terakhir pada abad ke-9. Hal ini membuat situasi
politik tidak stabil dan menyebabkan gelombang perdagangan ke Cina berhenti. Tapi
situasi ini memberi andil bagi
kemandirian bangsa Jepang yang juga mempengaruhi kebudayaannnya. Pintu
gerbang Rashomon agaknya menjadi penanda kejayaan periode itu sebelum kemudian
bangunan itu runtuh pada abad ke-12. Konon, setelah itu Rashomon mempunyai
reputasi sebagai tempat persembunyian pencuri dan orang-orang bertingkah laku
buruk. Orang-orang juga membuang mayat dan bayi tidak diinginkan di gerbang
tersebut.
Nama
gerbang yang hancur itulah yang menjadi setting utama bagi cerpen berjudul Rashomon
karya Ryunosuke Akutagawa. Judul yang sama diambil oleh sutradara film legendaris asal Jepang untuk karyanya. Akira
Kurosawa membuat film berjudul Rashomon pada tahun 1950. Akutagawa bukan
menceritakan kemegahan gerbang Rashomon sebaliknya ia membawa kisah tentang
kemerosotan nilai kemanusiaan pasca keruntuhan gerbang itu. Rashomon menjadi
tempat yang angker apalagi jika merujuk pada legenda rakyat Jepang yang
menyebutkan bahwa gerbang itu adalah kediaman Ibaraki Doji (setan atau raksasa
yang memiliki gigi sejak lahir) yang membawa kerusakan lingkungan.
Rashomon (2005) oleh Pittsburgh Repertory Theatre, USA |
Kini, bahkan satu batu pondasi pun tidak tersisa
di tempat yang dipercayai sebagai situs di mana Rashomon pernah berdiri. Orang
hanya melihat sebuah pilar batu penanda tempat itu di mana pintu gerbang
itu pernah berdiri di sana. Penanda itu
terletak di Timur Laut di mana terdapat persilangan yang mempertemukan Jalan Kujo dan
Jalan Senton atau Jalan Raya Senbon. Orang hanya bisa melihat sebuah tanda dari
kayu ditulis dalam Bahasa Inggris dan Jepang menerangkan sejarah pintu gerbang
itu. Situs tersebut berada di belakang toko tidak terkenal di Jalan Kujo dan
terletak sangat dekat dengan playground kecil.
Meskipun ada halte bis terdekat bernama Rajomon, mereka yang tidak mengenal
daerah itu tidak akan menemukan situs Rashomon. (ye)