Seorang pakar
antropologi dan sosiologi, David Le Breton bilang bahwa kelenturan, keluwesan,
dan keliatan tubuh menjadi satu hal biasa dan lumrah dalam masyarakat
pos-industri. Dia melihat anatomi tubuh tidak lagi menjadi satu kesatuan dengan
hakekat keberadaan manusia. Anatomi menjadi sebuah asesori belaka untuk sebuah presentasi, bahan mentah bagi dunia fashion, serta menjadi bidang untuk menampilkan spesial
efek. Mengolah tubuh dan
mempresentasikannya memang bukan pilihan satu-satunya dalam pertunjukan saat
ini.
sumber: http://ausdance.org.au/uploads/content/news/2015/GOM-Photo-Steve-Ullathorne.jpg |
Tubuh aktor juga bisa mengalami hal seperti itu. Kreator terlalu sibuk bermain-main dengan elemen-elemen lain selain tubuh aktor. Tontonan-tontonan semacam itu memang memukau dan memanjakan secara visual. Itu tetap asyik. Kita bukan lagi di jaman bersuntuk dengan tubuh saja. Joged Amerta nya mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) mungkin jadi bukan barang asyik buat tubuh-tubuh muda. Metode Suzuki dengan gedruknya bisa jadi terlalu berat buat tubuh-tubuh masa kini. Sutradara mungkin “tergoda” untuk juga mencicipi kecanggihan visual effect, tetapi bisa berbahaya jika maunya hanya biar dibilang keren. Sutradara tidak cukup kuat gagasannya memasang visual effect yang ada. Selanjutnya tubuh-tubuh aktor hanya jadi kanvas belaka atau tenggelam oleh kecanggihan tehnologi.
Kembali ke istilah migrasi tubuh (saya merasa keren
dan seksi mengucapkan istilah ini!). Tubuh memang melakukan perjalanan setiap
hari. Pikiran dan perasaan turut serta di dalamnya. Tetapi apakah pikiran dan
perasaan itu mengendali tubuh sepenuhnya pada setiap tempat yang mereka tuju?
Atau mereka hanya mempersiapkan diri untuk pasrah dan berserah diri di setiap
tempat pemberhentian? Dalam pelatihan tubuh semacam Joged Amerta dan Metode
Suzuki (keaktoran), orang belajar membuka kesadaran diri dalam mengendali
tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar