Jalan Digital Para
Pejuang Panggung
https://pixabay.com/)
& Photo by Rojan
Maharjan on Unsplash
Tidak seorang pun pada saat ini dapat menjawab kapan bentuk tontonan live akan kembali. Bahkan ahli medis, lembaga-lembaga pendanaan kegiatan seni, dan juga pelaku kreatif sendiri yang sudah lama kehilangan panggung (dan finansialnya?).
Digital adalah satu-satunya tahap aman saat ini. Teater sedang memperjuangkan hidup mereka lewat cara kreatif kekinian. Mereka mengeksplorasi untuk bisa tetap terhubung dengan penonton dengan teknologi media. Beberapa dramawan menulis drama untuk ditayangan via Zoom, beberapa karya dihadirkan secara streaming, makin yang melakukan dramatic-reading secara online, dan ruang virtual telah menjadi tempat tongkrongan baru bagi teater.
Beberapa waktu lalu, Centre Theatre Group dan pimpinannya Meghan Pressman memoderatori panel dengan tema “membuat konten teater untuk platform online.” Para pembicara antusias meskipun mereka cukup hati-hati dalam pembahasan. Digital bisa menjadi penyelamat dalam situasi ini, namun belum tentu berdampak pada keuntungan berkait keuangan. Tapi pilihan apa lagi yang tersedia dalam pandemic ini?
Yuval Sharon, direktur artistik Industry, sebuah kelompok opera inovatif yang didedikasikan untuk menjelajahi ruang pertunjukan nontradisional mempunyai pendapat keren. Ia bilang, “jangan menjadikan jalan digital sebagai bentuk permakluman karena kita tidak bisa mendatangkan penonton." Digital kurang menarik baginya sebagai sistem pengiriman "untuk karya-karya yang biasa kita kerjakan." Dia lebih tertarik dengan "karya baru" yang responsif terhadap peralatan kekinian.
Direktur artistik Oregon Shakespeare Festival, Nataki Garrett mengatakan bahwa digital dapat memperluas jangkauan ke komunitas-komunitas yang terpinggirkan yang mungkin merasa tidak diterima dalam suasana “terbatas” ruang teater. “Dapatkah kita menciptakan ruang yang tidak hanya memperkuat homogenitas penonton?” tanyanya.
Direktur artistik Deaf West Theatre, DJ Kurs juga menjadikan digital untuk cara memperluas akses. Namun dia mencatat bahwa mungkin "kurang dari 15 persen teater online diberi judul atau diterjemahkan (subtitle) sehingga bisa diakses oleh komunitas tuna rungu."
Photo by mostafa meraji on Unsplash |
Semakin lama pandemi ini berlangsung, penawaran teater online yang lebih dinamis dan inovatif akan makin banyak Tapi risikonya tidak bisa diremehkan. Sebagian memang akan menyambut gembira ketika gedung teater dibuka kembali, tetapi bagaimana dengan sebagian penonton yang telah terbiasa menonton pertunjukan via gadget?
Tentu saja, tidak ada yang bisa menggantikan suasana dari penonton teater secara live. Layar monitor gadget, tidak peduli seberapa definisi tinggi resolusinya, tidak dapat membangkitkan sensasi hidup di ruang pertunjukan. Tetapi satu sisi juga mulai muncul gagasan tentang tiket nonton teater virtual di masa depan. Terutama bagi mereka (penonton), yang masih khawatir tentang penularan dan memilih untuk online streaming.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar