Teater tidak bisa terpisah dari (berita) Politik
Diep Tran memberi
catatan berkiat hubungan teater dan politik ini saat ia hadir pada acara
Philadellphia Fringe Festival 2017. Americana Psychobabble adalah
satu dari 170 lebih pertunjukan yang disajikan selama 17 hari Philadelphia
Fringe Festival 2017 yang diadakan setiap bulan
September.
Diep Tran mengakui bahwa
ia seharusnya memberi catatan tentang festival teater itu sendiri. Tetapi Diep
Tran berpendapat bahwa politik telah menyusupi setiap aspek kehidupan kita,
apakah kita suka atau tidak.
Ini adalah jaman hyperconnectivity dengan
siklus kemunculan berita sepanjang 24 jam tiada henti. Saat kita mematikan
telepon kita dan duduk di teater yang gelap, maka kita sebenarnya sedang
menyimpan berita utama hari ini di gadget kita.
Dan jika ada sesuatu di
atas panggung yang jelas bersinggungan atau hanya samar-samar sebagaimana
dibahas di CNN, otak kita secara otomatis akan menghubungkan itu. Hal itu
sudah hampir menjadi naluriah sekarang. Oleh karena itu
seniman (teater) yang ingin mendalami permasalahan politik harus bisa membuat
keseimbangan antara keberpihakan dan polemik dengan nuansa dan urgensi.
sumber: http://www.internationalwow.com/newsite/comfortsafety/comfort.html |
Tahun politik 2018 ini mungkin beberapa seniman baik individu ataupun kelompok akan “peye” berkaitan dengan propaganda, kampanye dan sejenisnya. Bukan benar atau salah, boleh atau tidak masalahnya. Toh, misalnya hari ini kita berada di panggung “partai hitam” dan besok di panggung “partai putih” juga tidak masalah.
Kebutuhan pragmatis dan praktis (menjaga kendhil tidak ngguling) sekadang menjadi alasan klasik. Tapi kita harus menghormati mereka yang menempatkan teater sebagai ruang terbuka dan demokratis. Sebuah ruang yang tidak sembarang ideologi dan gagasan masuk sehingga menghilangkan netralitas teater. Karena teater seharusnya menjadi ruang berpikir alternatif bagi berbagai kuasa ideologi dan gagasan yang mengada.
Philadellphia Fringe Festival 2017 menampilkan karya-karya yang di antaranya mengusung tema berkaitan dengan situasi politik terkini, Misalnya perubahan iklim, kebrutalan polisi, rasisme. Pertunjukan-pertunjukan tersebut berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan besar politik pada tahun 2017 dan itu semua tampaknya bukan kebetulan (dikaitkan dengan Pilpres Amerika). Tetapi Diep Tren bertanya-tanya pada beragam pertunjukan-pertunjuakan yang dibebani masalah politik itu.
Teater Punya Potensi Sebagai Pencipta Perubahan
Diep Tran mempertanyakan apa seharusnya peran seni pada tahun 2017? Ketika berita-berita terasa seperti maraton teater yang melelahkan. Kita seperti disuguhi persaingan-persaingan di atas panggung drama.
Kemudian apa yang bisa panggung teater hadirkan pada kesadaran kita bahwa kita tidak sekedar bersumber dari CNN atau stasiun berita televisi lain atau akunTwitter Presiden atau kementerian negara tertentu?
Marc Bamuthi Joseph menjawab pertanyaan Diep Tren itu. Penulis dan dramawan itu berkata, “seni bisa mengubah pikiran. Perubahan itu lama-lama bisa dianggap normal. Itu yang terjadi dalam budaya kita. Sehingga opini sebenarnya bisa membentuk kebijakan. Kemampuan itu bisa dilakukan oleh seniman. Lihat saja, penceritaan tentang budaya Amerika berada di tangan seniman.”
“Perlu dipahami juga bahwa perubahan pikiran dan kelangsungan budaya, tidak terjadi seketika. Perubahan-perubahan tersebut tidak terjadi dalam hitungan siklus ekonomi perkuartal. Hal itu terjadi dalam siklus pemilu 4 tahunan. Sebagian seniman (teater) dan pemikir terkemuka memahami hal itu. Oleh karena itu, mereka melakukan perubahan dengan cara langkah demi langkah bukan lompatan demi lompatan. Teater memang bukan pemerintah; tetapi ia punya fungsi sebagai penunjuk jalan,” lanjut Marc Bamuthi Joseph.
Harus Lebih Bangkitkan Kesadaran
Deap Tran mengemukakan bahwa jika seniman berupaya merespon hal-hal besar berkaitan pertanyaan-pertanyaan seputar lingkungan dan sosial ekonomi yang berseliweran di sekeliling kita, mereka harus melakukannya dengan hati-hati dan sungguh-sungguh.
“Saya tidak mengalami katarsis sebelum batin saya tersentak hebat karena apa yang saya lihat lihat lebih dalam daripada yang saya hanya baca headline berita dari hape saya,” ucap kritikus teater Koran New York Time, Ben Brantley.
Penonton jaman now lebih memiliki kesadaran dan kritis. Oleh karena itu, seniman teater harus melalukan yang terbaik menghadapi penonton seperti itu. Khususnya jika karya mereka sedang mempersoalkan isu-isu terkini.
Terutama isu-isu yang sekadang terlalu besar sehingga banyak orang merasa tidak berdaya menghadapinya. Bahkan termasuk si seniman teater sendiri sebenarnya tidak punya solusi atas masalah yang mereka dramatisasikan di atas panggung.
sumber: http://fringearts.com/wp-content/uploads/2017/08/unnamed-11.jpg |
Teater sebagai Penyeimbang yang Bijak
Selain itu, seniman teater harus memiliki kemampuan membangun ruang dan waktu sedemikian rupa. Sehingga mereka bisa mengaja penonton masuk ke sebuah ruang, menyingkirkan telepon, dan mengarahkan perhatian pada panggung. Seniman teater harus memanfaatkan ruang dan waktu itu sebaik-baiknya. Hal itu memiliki potensi menciptakan pemanggungan yang berhasil. (ye)
Seniman teater seyogyanya menjadikan karya mereka sebagai sebuah penyeimbang berbagai isu dari sisi seni. Jika teater berfungsi sebagai sebuah petunjuk, maka teater seharusnya mengarahkan penonton menuju jawaban-jawaban atau tindakan-tindakan.
Teater juga butuh mengolah masalah lebih baik sehingga penonton punya alasan mengapa mereka harus tinggal di dalam gedung pertunjukan. Tontonan teater yang menyajikan banyak pertanyaan dan isu tidak menjamin pertunjukan berhasil. Tontonan spektakuler dengan biaya besar tidak menjamin kepuasan penonton. Bisa jadi sesuatu yang kecil dan sederhana, seperti “yoga tertawa” dalam lakon Americana Psychobabble karya Tatarsky di atas lebih mengena.
adaptasi
dari tulisan Diep Tran berjudul:
How to Make Relevant Theatre in 2017: Lessons From Philly Fringe
Theatre
is reflecting our world back at us. But are we feeling it?