Sejarah teater Eropa di
Hindia Belanda dimulai di kastil yang dikelilingi benteng VOC di Jayakarta (saiki
Jakarta) pada 1619. Sejumlah pegawai
kompeni dengan beragam latar belakang membuat produksi yang konon pertama di
Asia, yaitu Hamlet karya William
Shakespeare saat itu. Peristiwa itu terjadi seusai pertempuran dengan pasukan
yang loyal pada Perusahaan Dagang Inggris India Timur (saingan VOC) selama
lebih empat bulan yang kemudian menghantar Pangeran Wijayakrama menjadi Sultan
Ranamanggala di Banten. Gabungan prajurit, pedagang, dan budak di benteng VOC itu
mengubah gudang menjadi tempat pertunjukan teater. Soal ngowahi gudang jadi gedung teater ini ternyata adalah semangat yang
dipelihara hingga kini, bagi orang-orang teater terutama yang nggak kuat nyewa
gedung teater representatip, biasanya mereka sulap ruangan apa saja jadi panggung hehehe.
Sebanyak 350 pegawai
kompeni menghadiri pertunjukan itu. Tetapi sebuah pendapat menyebut bahwa
sebenarnya orang Belanda hanya setengah dari seluruh yang hadir dalam peristiwa
kesenian itu. Sekitar seperlima dari jumlah itu adalah para budak. Selanjutnya para
pemilik budak dan sejumlah gundik pribumi, orang-orang Asia merdeka dan budak;
para pedagang Eropa, para penghuni tetap, beberapa tentara, pembuat kapal,
tukang kayu, pembuat layar, dan tukang ahli lainya. Sedangkan orang Eropa lain
adalah orang Jerman, Perancis, Sckotlandia, Inggris, Denmark, dan Belgia.
Sebagaimana laporan
yang tertulis di jurnal, peristiwa itu sangat gaduh dan kisruh. Biarpun mereka
mementaskan naskah Hamlet tapi itu dalam rangka seneng-seneng. Bagi kita jaman
sekarang bikin produksi Hamlet pasti sudah menguras harta dan tenaga dan bikin
kepala pening, ya sutradaranyaa, aktornya dan kru panggung gedandaban. Jadi nonton
pentas Hamlet adalah sebuah hiburan. Bahkan acara seusai pementasan tak kalah gayeng. Mereka mengadakan pesta sesudah
tontonan rampung. Benteng menjadi
tempat pesta yang menyenangkan bagi perangkat pertunjukan dan penonton. Mereka
bisa bermain musik, menyanyi, menari sambil dem-deman
bersama. Acara bersenang-senang semacam itu rupanya biasa diadakan seusai
pementasan teater.
Orang bernama De Jonge
mempunyai catatan menarik perihal pesta pasca pentas teater semacam itu. Sebuah
lakon berjudul the King of Denmark and
the King of Sweden berlangsung di aula pada suatu hari Senin sore bertepatan Hari Paskah.
Setelah pementasan itu usai, para pemain menikmati makan malam (ini mungkin
semacam lambaran biar perut siap jika
kelak kemasukan arak). Mereka melanjutkan acara penuh kegembiraan sampai larut
malam. Orang-orang kulit hitam diijinkan
memainkan alat-alat musik(maklum saja karena biasanya mereka yang dianggap
budak dibatasi polahnya). Semua orang
seolah merasakan hidup di sebuah wilayah bebas dan merdeka, walau dalam ruang
yang dikelilingi tembok alias benteng. Para lelaki yang sudah mabuk mulai mbribig sitik-sitik para perempuan.
Mereka saling menggoda dan tergoda yang menjurus pada perbuatan intim. Keadaan
tanpa kendali siapapun, karena baik yang pangkatnya juragan sampai jongos sudah
dikuasai oleh arak.
Pesta gila dan gaduh
semacam bukan hal aneh pada masa itu karena tidak hanya terjadi pada acara berkaitan
teater. Sebuah lembaga pengadilan yang berdiri pada 1617 sudah sering mendengar
kasus-kasus pembangkangan, penistaan, percekcokan, dan kemabukan. Jurnal
Belanda di atas juga melaporkan bahwa orang-orang Belanda sering mengadakan
pesta gila-gilaan pada malam hari. Mereka sering mengadakan pesta dengan gaduh
dan liar saat merayakan pernikahan antara pembantu-pembantu kompeni dengan
“para wanita kulit hitam.” Sehingga
tidak mengherankan kalau M. C. Ricklefs menggambarkaan bahwa para kaum kolonial
adalah orang-orang yang suka menghabiskan waktu untuk pesta pora dengan melanggar susila dan sekaligus mereka suka berdoa.”