Seni Pertunjukan (Teater) dan Penonton Digital Native
sumber: flicker.com |
Sebuah perbincangan bertema Digital Space: Performing Arts and the Digital Shift pernah berlangsung di Sofia, Bulgaria 16-19 Oktober 2014. Salah satu narasumber adalah Maude Bonefant. Dia adalah adalah ahli media digital yang melakukan riset tehnologi baru: game, media sosial dan lain-lain dari sudut pandang sosial. Berlawanan dengan pendapat umum, salah satu pendapat pentingnya adalah dunia maya bukan sebuah dunia parallel dan apa yang kita sebut relitas virtual adalah sebuah sebuah perpanjangan dari dunia offline: senyata dunia di mana kita berada. Pendapat tersebut ia peroleh dari serangkaian wawancara pada sejumlah komunitas digital. Ia menemukan fakta bahwa kekerasan dan pelecehan di dunia online bisa melukai perasaan seseorang secara nyata atau demikian pula hal positif persahabatan para gamer secara online bisa dirasakan sebagai persahabatan sejati biarpun mereka belum pernah saling bertemu secara offline. “Dunia maya adalah hanya sebuah perpanjangan kehidupan,” tegas Maude Bonenfant.
Lalu, bagaimana seni pertunjukan menghadapi penonton jaman sekarang yang juga adalah digital native. Haruskah kita meminta mereka meletakkan HP sebelum pertunjukan atau membiarkan mereka melakukan streaming dan share pertunjukan yang disaksikan? Kita juga memisahkan mereka dari katgori penonton “tradisional offline” atau membiarkan mereka bercampur? Topik dalam perbincangan tersebut juga bagaimana merespon terhadap perubahan wujud perhatian di jaman digital dan bagaimana memasarkan seni pertunjukan pada penonton digital native.
Penelitian ilmiah membuktikan bagaimana otak manusia bisa berubah. Saat ini, manusia cenderung lebih menyukai pesan yang lebih pendek tetapi kemampuan multitasking mereka berkembang. Jika golongan digital natives memiliki perhatian terpecah (fragmentasi), maka mereka bukan berarti tidak mampu memahami sesuatu hal. Sebaliknya mereka mampu menangkap beberapa pesan sekaligus.
Salah satu budaya baru yang berkembang di kalangan digital native adalah crowdfunding untuk industri bioskop dan produksi film independen. Mereka bersedia membayar untuk sesuatu yang belum mereka terima. Produksi seni pertunjukan (teater) mungkin bisa menjadikan hal semacam itu untuk kebutuhan produksi dan “pemasaran” karya mereka.
Ada masanya mungkin digital native lebih suka menonton pertunjukan melalui media digital daripada mereka hadir di secara langsung di depan panggung. Ini pasti menimbulkan pertanyaan baru bagi seni pertunjukan, terutama jika pelaku seni pertunjukan memiliki pemahaman bahwa sebuah pertunjukan seharusnya tanpa sekat atau medium digital.
Mauren kembali menegaskan bahwa layar gadget bukanlah cangkang yang memisahkan antara manusia dan dunia; dunia online itu tidak terpisah dari realitas offline. Terkait dengan digital natives, maka dunia virtual adalah perpanjangan dari realitas dan bisa menjadi cara untuk berbagi pengalaman. Beberapa teater mengizinkan orang untuk men-tweet tentang acara mereka dan mereka menjadikan hal itu untuk tujuan pemasaran.
Maude Bonenfant |
Satu sisi, ada pasti penonton yang terganggu dengan cahaya layar hape saat mereka berada di ruang pertunjukan. Oleh karena itu, penyelenngara tontonan mungkin perlu penyediaan sektor digital di bagian bangku penonton. Ini bisa menjadi solusi untuk membuat kategori audiens "lama" dan "baru" di satu tempat.
Salah satu keunikan dari menonton seni pertunjukan secara langsung adalah kita mengalami peristiwa seni pertunjukan itu sendiri bersama-sama penonton lain. Sesuatu yang mengandung sensasi tersendiri berada dalam sebuah komunitas pertunjukan. Dengan demikian apakah seni pertunjukan akan kehilangan nilai itu di zaman era digital saat ini? Karena beberapa orang mungkin sangsi apakah cara berbagi pengalaman secara online masih bisa membangun nilai tadi?
Maude menyatakan bahwa kebersamaan secara online bukanlah pengganti; cara itu hanyalah wujud lain untuk bersama. Bagaimanapun manusia butuh bersama. Tubuh harus hadir. Seni pertunjukan di panggung adalah cara yang sangat penting untuk bersama dalam sebuah komunitas. Pengalaman dalam sebuah ruang dan waktu secara nyata tidak mungkin tergantikan hal lain.
Seni pertunjukan online adalah salah satu cara untuk tetap membentuk sebuah komunitas di seputar pertunjukan. Sehingga kita juga tidak dapat begitu saja mengatakan bahwa orang-orang yang menonton pertunjukan secara online di beranda (feed) sebuah pentas bisa disebut menghadiri pertunjukan itu sendiri.
Seni pertunjukan harus menyadari terhadap media baru ini dalam menyebarkan karyanya. Seni pertunjukan harus berpikir ulang tentang karya-karya yang diciptakan terlebih bila dikaitkan dengan digital native.
Ideologi neoliberal lebih dulu menunggangi kemajuan tehnologi informasi bagi kepentingannya(digital native berada di dalamnya). Kolaborasi neoliberal dan dunia digital cenderung mengubah semua orang- pelajar, pasien, masyarakat umum - menjadi klien, menjadi konsumen produk.
Sumber: flickr.com |
Hal seperti itu pasti cukup masalah dengan dunia seni, pendidikan dan sejenisnya. Solusinya tentu tidal mudah. Penonton harus tertarik pada teater tetapi tidak harus dianggap sebagai klien suatu produk. Salah satu kemungkinan adalah menemukan cara menetralkan trend konsumen neoliberal besar ini. Seni pertunjukan harus mendidik audiens karena jika seseorang tidak tahu dan tidak memahami seni, bagaimana seseorang bisa menyukainya dan menghargainya?
Teknologi tidak bisa begitu saja diletakkan di depan seni beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Meskipun satu sisi kita menyadari bahwa faktanya teknologi informasi “tidak netral.” Teknologi itu mengandung ideologi tersendiri di dalamnya. Sehingga jika kita tidak memperhatikannya, maka kita berada di jalan yang salah.(ye)
Sumber: https://www.ietm.org