Bagaimana
seni mempengaruhi perubahan sosial atau politik? Perbincangan tentang hal itu
sudah terjadi beberapa kali di lingkungan seni (teater) di Eropa dan Amerika.
Selain itu juga di belahan lain di dunia termasuk Indonesia.
Sumber: https://www.emilyjupp.co.uk/counting-sheep-by-belarus-free-theatre-review/uncategorized/review/ |
Sejarah
pertunjukan teater memiliki catatan panjang menjadikan pertunjukan sebagai bagian
dari gerakan para aktifis. Misalnya intervensi jalanan yang dilakukan Bread and
Puppet Theatre di Amerika Serikat dan beberapa kelompok lain. Judy Chicago (penulis dan aktifis feminis)
pernah berpendapat bahwa "pertunjukan dapat dipicu oleh kemarahan dengan
cara yang tidak bisa dilakukan oleh lukisan atau patung". Segala jenis
protes tingkat jalanan, semacam protes pro-demokrasi di Hong Kong, secara
efektif merupakan bentuk teater. Bentuk
flash mob juga bisa menjadi upaya untuk membangkitkan kesadaran tentang sesuatu.
Jadi
ketika seni dan aktivisme berjalan beriringan, apakah mereka benar-benar
mengubah apa pun? Atau bisakah kita benar-benar berharap bahwa pertunjukan
teater dengan mengusung nada desakan dan penuh amarah terhadap sebuah situasi
bisa mendorong penonton bergegas membentuk barikade dan menggulingkan
pemerintah?
Ada
banyak teater politik, terutama di Eropa dan Amerika. Tetapi apakah
pertunjukan-pertunjukkan semacam itu tidak berarti apa pun selain berkhotbah
kepada orang yang “bertobat”? Bagaimana mereka bisa menyampaikan gagasan kritis
mereka pada masyarakat yang lebih luas?
Pendiri
dan aktivis teater Turki Memet Ali Alabora berpendapat bahwa acara-acara seni
tentu saja dapat berkontribusi pada perubahan politik. Dia dan beberapa orang terlibat
dalam pementasan drama di Cardiff (Inggris Raya), tempat ia mengasingkan diri.
Sebelumnya pemerintah Turki dan media pro-pemerintah
menuduh dia melakukan pementasan bernunasa hasutan dan menjadi
"latihan" untuk protes Taman Gezi 2013 di Istanbul.
Aksi
itu disebut sebagai gelombang protes terbesar dalam sejarah Turki baru-baru ini.
Ratusan ribu turun ke jalan untuk menentang usulan pembongkaran taman dalam
kota untuk membuat jalan bagi pusat perbelanjaan bergaya Ottoman. Sebuah proyek
yang mendapat dukungan secara pribadi oleh perdana menteri waktu itu (dan
presiden saat ini) Recep Tayyip Erdoğan. Buntut aksi itu membuat Alabora
mendapat ancaman karena aksinya itu. Seperti halnya Teater
Bahaya
seperti itu mungkin tidak ada di Eropa dan Amerika, tetapi jelas ini
menunjukkan bahwa seni dan teater masih dapat membuat perbedaan bagi kehidupan
orang-orang di tingkat akar rumput. Tetapi apakah mungkin gerakan teater
semacam itu bisa terjadi di daerah pinggiran (pedesaan)? Apakah isu-isu yang
diusung dalam pertunjukan teater seacam itu hanya dapat menjangkau pikiran
mereka yang tinggal di kota-kota besar.
Rhiannon White, dari Common Wealth Theatre (Inggris), berpendapat bahwa seniman yang mengerjakan karya seni bagi masyarakat perlu mengadopsi proyek-proyek yang benar-benar diinginkan masyarakat. Dia percaya seni komunitas tidak akan mengubah apa pun jika itu tidak memiliki efek berkelanjutan memberdayakan masyarakat untuk melanjutkan apa yang telah dimulai.
Rhiannon White, dari Common Wealth Theatre (Inggris), berpendapat bahwa seniman yang mengerjakan karya seni bagi masyarakat perlu mengadopsi proyek-proyek yang benar-benar diinginkan masyarakat. Dia percaya seni komunitas tidak akan mengubah apa pun jika itu tidak memiliki efek berkelanjutan memberdayakan masyarakat untuk melanjutkan apa yang telah dimulai.
Direktur artistik Battersea Arts Centre (London,
Inggris), David Jubb mengamati bahwa teater “melayani lebih banyak kalangan
tertentu dan berisiko menjadi tidak relevan bagi banyak orang. Teater lebih
disukai segelintir orang”. Dia mengatakan ini adalah "sangat merugikan
seniman dan peran potensial mereka sebagai pembuat perubahan".
Sumber: https://dailybruin.com/2019/04/23/forum-theatre-performance-to-promote-audience-participation-with-social-issues/ |
Gagasan
tentang seniman sebagai pendorong perubahan adalah gagasan bagus sekaligus memiliki
daya tarik khusus ketika isu hak azasi manusia semakin
dibangkitkan. Tindakan mengumpulkan banyak orang dalam sebuah tonotonan itu manjur,
sekaligus berpotensi berbahaya.
Pementasan
teater di Royal Court (gedung teater di Inggris), betapapun mengusung nada kemarahan
dan ketegangan, mungkin tidak akan membawa perubahan sosial. Sebaliknya para pembuat
karya teater tingkat akar rumput mungkin bisa membuat masyarakat bersatu secara
sosial, mengakhiri isolasi, menyelesaikan masalah lokal dan mengartikulasikan
ambisi mereka. Peristiwa teater yang mereka lakoni menantang budaya dominan dan
cara berpikir dan tindakan yang mapan.
Para kreator ini membuktikan bahwa teater dan aktivisme adalah rekan
seperjalanan. Teater dan aktvisme lebih kuat bersama daripada terpisah. (ye)
sumber: https://www.theguardian.com/stage/theatreblog/2016/mar/23/theatre-effective-protest-activism-change-debate