Lakon Sarahwulan memiliki kemiripan
dengan kisah Joharmanik. Saripan Hadi Sutomo merekam kembali perbandingan
perbedaan kedua lakon itu dalam buku Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban.
Sarahwulan menjadi cerita yang dikenal masyarakat lewat bentuk seni teater
tutur, kentrung. Dalang yang memiliki kekhususan menyampaikan cerita itu adalah
Rati. Tidak ada dalang kentrung lain di luar Tuban yang menyajikan lakon
Sarahwulan. Sebaliknya, beberapa dalang kentrung tersebut meembawakan lakon
Joharmanik.
Rati sebagai dalang perempuan menyukai
membawakan lakon tentang perempuan: Sarahwulan. Di sisi lain, masyarakat Tuban
pada masanya juga menyukai lakon itu. Konon, Sarahwulan berangkat dari cerita
dalam wayang gedhog. Saripan Hadi Sutomo mencatat bahwa lakon Sarahwulan
termasuk cerita pakem dari Wayang Gedhog karya Pangeran Adi Wijaya IV dari
Surakarta. Jenis wayanag yang kabarnya diciptakan oleh Sunan Giri ini biasanya
menyajikan cerita panji
Rati menjalani hampir seluruh hidupnya
sebagai dalang kentrung. Sebagaimana bentuk seni tradisi umumnya, kehadirannya
sebagai dalang kentrung karena faktor warisan keluarga. Rati lahir dari sebuah
keluarga dalang kentrung. Neneknya, Nyi Basiman adalah dalang kentrung
perempuan kondang. Sejak kecil, Rati melihat dan mendengar bagaimana nenek dan
anak-anak perempuannya (termasuk, Sukilah, ibu Ratri) terlibat dalam kegiatan
belajar-mengajar kentrung. Hingga pada saatnya, Ratri tampil sebagai pewaris
ke-5 dari keluarga dalang kentrung tersebut.
Rati, dalang kentrung asal Desa Bate,
Bangilan, Kabupaten Tuban terhitung cukup panjang umur menjadi dalang kentrung.
Sebagian orang berkata bahwa Rati mencapai usia seabad, sebelum dalang
perempuan ini meninggal dunia pada 30 Juni 2014. Setelah itu, tidak ada dalang
kentrung perempuan muncul dari keluarga ini. Apakah kemandegan ini karena
generasi di bawah Rati tidak ada yang tertarik mempelajari kentrung? Atau
apakah adanya syarat bahwa penerus dalang kentrung harus perempuan? Hal ini
mengingat bahwa pemegang mandat tradisi ini adalah perempuan mulai dari Nyi
Basiman hingga Rati.
sumber: http://penyuluhbudayabojonegoro.blogspot.co.id/2014/06/ |
Perempuan agaknya memang punya peran
penting dalam sejarah kentrung di Tuban ini. Bukan kebetulan, Desa Bate
memiliki kisah asal-usul nama desa yang menokohkan perempuan. Joyo Juwoto,
penulis asal Tuban menuturkan bahwa Bate berasal dari nama perempuan Cina
bernama Bah Tei. Pedagang jamu ini bersedia dipersunting oleh Mluyo Kusumo,
seorang pemimpin berandal di sebuah desa. Bah Tei menyaksikan bagaimana Mluyo
Kusumo berhasil mengusir gerombolan perampok dan pencuri yang menyerang desa
itu. Bah Tei menganggap bahwa Mluyo Kusumo adalah suami sekaligus pelindungnya.
Tetapi saat pesta pernikahan Mluyo Kusumo dan Bah Tei berlangsung, gerombolan
itu datang mencuri pusaka andalan desa itu. Sejak itu, desa itu tidak aman
karena gerombolan itu selalu menyerang desa tempat Mluyo Kusumo. Bah Tei merasa
tidak aman dan ketakutan. Ia memutuskan pergi dari desa itu. Mluyo Kusumo
gundah gulana setelah istrinya meninggalkannya. Pemimpin berandal itu mengabadikan
nama istrinya sebagai nama desa itu:Bate.
Kisah Sarahwulan turut surut dalam pelukan Rati di Desa Bate. Ketiganya menjadi sebuah rangkaian tersendiri kisah tentang perempuan. Mereka bisa muncul sebagai kisah baru dan mungkin dengan penceritaan yang baru. Nama-nama itu membawa pencerita dan pendengarnya menjelajah ruang-ruang yang lain. (ye)
Kisah Sarahwulan turut surut dalam pelukan Rati di Desa Bate. Ketiganya menjadi sebuah rangkaian tersendiri kisah tentang perempuan. Mereka bisa muncul sebagai kisah baru dan mungkin dengan penceritaan yang baru. Nama-nama itu membawa pencerita dan pendengarnya menjelajah ruang-ruang yang lain. (ye)