Tehnologi digital menjadi hal dalam dunia seni teater. Sebagai hal baru maka dia selalu menggelisahkan, baik dalam pengertian ancaman maupun keuntungan. Apalagi kemajuan tehnologi berkaitan audio-visual melaju seolah tanpa kendali. Penemuan-penemuan baru dan lebih ringkas dalam soal editing misalnya semakin mudah diperoleh (diunduh). Di sisi lain, harga software dan hardware semakin terjangkau kalau tak boleh dikatakan murah. Keadaan ini sudah dan semakin mengalir ke wilayah kegiatan teater. Beberapa karya pertunjukan teater mulai membutuhkan kehadiran kecanggihan tehnologi audio-visual terkini. Kritikus teater di Barat menyebut hal baru ini sebagai technodrama atau mixed reality.
sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/1c/61/4a/1c614aceea3c62b4c8cd812b5b0fceb0--d-video-projection-mapping.jpg |
Para kritikus
Barat menyebut karya-karya produksi teater yang didukung kekuatan tehnologi
semacam itu disebut technodrama. Penonton tidak hanya disuguhi kepiawaian para
aktor, tetapi mereka juga melihat gambar-gambar 3D di atas panggung
pertunjukkan. Tubuh-tubuh dan dinding gedung pertunjukan menjadi ruang tembak
proyektor. Tampilan visual itu juga didukung penataan suara yang menciptakan
kesan “surround.”
Timothy Bird,
seorang perancang video asal London membanggakan karyanya dengan berkata,
“kualitas gambar 3D yang diproyeksikan tanpa mengharuskan penonton menggunakan
kaca mata khusus.” Karya-karya 2D-nya juga bisa dilakukan dengan cara
diproyeksikan pada set-set panggung berbagai bentuk, tidak hanya pada bidang
datar seperti biasanya.”
Karya-karya video designer itu juga disebut video mapping. Banyak orang (muda) memang sedang gemar dan tergoda
merambah media baru tersebut. Seperti Bird sendiri direwangi pindah dari dunia televisi ke teater karena ia merasa
memiliki ruang bermain dengan media ini di teater. Atau William Dudley
meninggalkan suasana kerja tradisional sebagai penata panggung untuk beralih ke
digital. Penata panggung dari AS ini
menggunakan proyeksi video pertamanya pada 2002 di National Theatre AS.
sumber: https://troikatronix.com/wp-content/uploads/2016/09/witlen-interview-1-1560x920.jpg |
Kehadiran
tehnologi baru itu bukannya bebas kritik. Kritikus teater, Matt Wolf menyadari
bahwa tehnologi baru itu pasti memiliki tujuan di tengah jaman ini. Di mana
ketidakaturan dan keruwetan hidup sekadang menurunkan tingkat perhatian
orang. Tetapi kritikus International Herald and Tribune itu
juga memperingatkan bahwa tehnologi juga bisa menjadi layanan untuk menggeser
kekuatan imajinasi.
Sutradara
memiliki peran besar mengendalikan sebelum semua yang terjadi di atas panggung.
Sutradara masa kini perlu memahami tehnologi sedemikian rupa sehingga dia tidak
tenggelam apa yang ia kerjakan. Keterpukauan pada tehnologi bisa membawa diri
sutradara kalut hanyut membuat semua adonannya dalam “loyang tehnologi.” Dia
bisa gagal memilah bagian-bagian mana yang butuh artikulasi “darah daging” dan
“tehnologi.” Timothy Bird memberi pendapat soal ini, yaitu jika sutradara hanya
sekedar meletakkan tehnologi dalam produksinya, maka hal itu menjadi sebuah gimmick palsu. Penggunaan trick harus demi menjaga tetap hidup apa
saja yang ada di atas panggung termasuk elemen manusia di dalamnya.
Sebagian
sutradara konvesional mungkin masih semacam “alergi” pada tehnologi. Perasaan
itu bisa disebabkan mereka tidak menguasai atau tidak memiliki selera
menggunakan kecanggihan tenhnologi semacam itu. Tetapi sebenarnya bentuk-bentuk
pertunjukan klasik atau tradisional sudah bergaul erat dengan tehnologi.
Ketoprak-ketoprak pesisir Utara Jawa sudah memfaatkan tehnologi-tehnologi
pemanggungan, semacam tehnik terbang dan lain sebagainya. Bondan Nusantara
menyebutkan bahwa panggung ketoprak sudah menggunakan pencahayaan dramatis
tahun 1930an. Lampu petromak ditambahi oleh kertas berwarna-warni untuk menimbulkan
berbagai efek dramatis. Saat ini, Ki
Asep Aceng Amung Sutarya memanfaatkan animasi untuk mendukung pertunjukan wayang
goleknya. Dalang ini membutuhkan tehnologi supaya wayang golek
memiliki daya tarik terutama pada anak muda.
“Saya berupaya
untuk membuat teater seajaib film,” kata Dudley suatu kali. Kontan saja
pendapat itu menuai reaksi. Sebagian orang mengatakan bahwa bagaimanapun
keunikan dan keajaiban yang dihasilkan oleh pita siluloid tak bisa tergantikan.
Selain itu semua yang tersajikan lengkap di atas panggung dengan kekuatan
tehnologi sepenuhnya berpotensi mengeringkan ruang imajinasi penonton. Dengan
demikian technodrama atau mixed reality hanya menjadi sebuah
tontonan spektakuler belaka.