Apa yang pernah
menjadi cita-cita dari gagasan pelaksanaan Hari Tari Dunia semakin terwujud.
ISI Surakarta sebagai lembaga yang mengawali perhelatan penting di dunia tari
ini berharap HTD menjadi acara besar dunia tari di Indonesia. Semuanya itu
semakin menampakkan hasilnya ke arah itu. Banyak kelompok maupun perorangan
yang bergelut di bidang seni tari terlibat di HTD. Mereka datang dari berbagai
penjuru kota di Indonesia maupun luar negeri. Bahkan tokoh-tokoh tari Indonesia
turut ambil bagian dalam suka cita HTD.
Performance by Japanese Dancer - YE-collections |
Meskipun
tanggapan pemerintah masih (selalu) melihat kesenian identik dengan pariwisata
itu menjadi masalah. Paling tidak situasi demikianlah yang baru bisa dicapai
oleh ISI Surakarta dalam membangun kesepahaman perihal kesenian (tari).
Bagaimanapun ruang-ruang non-turistik juga masih mampu tersaji di HTD yang
menginjak tahun ke-8 ini. Acara dan kegiatan yang menampilkan gagasan tari dan
berbau akademis juga mampu dihadirkan panitia penyelenggara. Kehadiran para
maestro tari tanah air menjadi contoh kegiatan yang dimaksud itu. Mereka
memaparkan beragam esensi tari sesuai bidang dan asal mereka. Ini semacam acara
tirakatan dalam kegiatan tujuhbelalasan di kampung-kampung yang menghadirkan
“senior citizen” untuk berkisah. Porsinya kecil dibandingkan dengan keseluruhan
acara dengan rundown yang panjang. Tetapi itulah tari di mana tubuh adalah wilayah
yang berisi rangkaian kehendak dan hasrat untuk selalu bergerak. Sebegaimana
pernyataan Jean-Goerges Noverre yang memperbandingkan tari dengan seni lain.
Tokoh tari asal Perancis abad ke-17 yang hari kelahirannya diperingati sebagai
HTD itu mengungkapkan bahwa tari mampu
mereproduksi beragam momen secara ekspresif di atas panggung yang oleh lukisan
hanya bisa ditangkap sekali secara instan. Demikian juga tari berbeda dengan
pantomim. Karena pantomim adalah penyampaian gagasan dengan ekspresi tanpa
kehadiran kata-kata. Sedangkan tari adalah penyatuan berbagai aksi seperti,
gesture, gerak, dan perilaku yang mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa
disampaikan dengan kata-kata. Hal ini
tentu bersambung dengan (sebenarnya) dengan tema HTD 2014 di Kota Solo, yaitu
“Suara Tubuh Membuka Hati” atau Dancing Loud Out (mengingatkan pada
judul video musik-tari berjudul Stomp
Loud Out produksi HBO 1997)
Penyelenggara
HTD 2014 memaknai “Suara Tubuh Membuka Hati” sebagai kegiatan seni yang bertujuan
menyadarkan bahwa tari semestinya mampu berbicara mewakili dunianya dalam
konteks kehidupan yang beragam. Artinya posisi tari sebagai salah satu aspek
budaya, secara substansial harus mampu menyuarakan dan mempunyai posisi tawar
yang penting dan efektif dalam aktivitas dialog global, tanpa meninggalkan
nilai-nilai yang merefleksikan identitas.
Tema tersebut masih berkesan menyatakan keinginan tari untuk lebih
berdaya dalam berbicara atau menyuarakan keberadaan tari itu sendiri. Belum
berupaya menjadi medium untuk mencapai nilai kemanusiaan seperti yang digagas
oleh Suprapto Suryo Dharmo menjelang HTD 2014. Padahal hal tersebut mestinya
menjadi sebuah keniscayaan apabila dikaitkan dengan dikaitkkan dengan keyakinan Noverre bahwa tari memiliki bahasa
universal. Sekitar 200 tahun lalu, tokoh tari balet modern itu menegaskan bahwa
gestur memiliki nilai sebagai bahasa universal di mana dapat dipahami oleh
semua orang karena ini adalah bahasa perasaan. Tari memiliki kemampuan
komunikasi yang luar biasa. Oleh karena itu, kegelisahan dalam tema HTD 2014
itu menjadi menggelisahkan untuk dipertanyakan. Apakah tari telah kehilangan
bahasa universal itu?
Karya Tari Djarot B.D. di Candi Sukuh-YE Collections |
Bagaimanapun,
jika setiap acara di Kota Solo (termasuk HTD) hanya dimaknai sebatas sebagai
even belaka, maka semua itu sia-sia. Sebuah acara hanya menyisakan kisah-kisah
klise semacam tumpukan sampah ada di mana-mana seusai sebuah perhelatan. Atau
wajah-wajah gembira pendukung acara dan penonton pertunjukan yang bertebaran di
media sosial. Sementara apa yang disampaikan para maestro tari dalam salah satu
sesi acara HTD 2014 terlupakan dan meninggalkan jejak dan dampak sosial yang
bermanfaat bagi masyarakat luas. Karena siapa tahu HTD hanya menjadi ruang
untuk masing-masing sibuk dengan tubuh sendiri.
24 Jam Menari
adalah salah satu menu unggulan dalam HTD 2014. Sejak mula HTD selalu saja
hadir tokoh-tokoh tari terkemuda di menu andalan ini. Daya tahan tubuh dan rasa
menjadi perlu dalam kegiatan ini. Acara ini mungkin tidak kalah penting dengan
acara dialog dengan para maestro tari. Ada kewibawaan dan kehormatan dalam
acara itu. Ini semacam selebrasi penari secara gerak-spiritual untuk merayakan
tubuh di HTD. Tapi seperti pendapat Mbah Prapto tentang perlunya kajian bagi
penyelenggaraan HTD, maka 24 Jam Menari perlu dilihat kembali. Bagaimana agar
mata acara ini bukan hadir berkesan seperti kegiatan daya tahan secara fisik
belaka. Meskipun ini mungkin sebenarnya biasa saja bagi penari sebagaimana
pernyataan Mourad Merzouki. Seniman tari asal Lyon, Perancis itu menyatakan
bahwa saya hidup dan bernafas dengan tarian sebagai sebuah kehormatan. Tetapi
ada yang menarik dari lanjutan pernyataan Mourad, yaitu ia memiliki
keprihatinan dengan menyandang kehormatan itu. Ia menyaksikan banyak anak muda
dari kalangan menengah ke bawah yang tidak beruntung, tumbuh dalam tekanan dan
keputusasaan untuk membayangkan masa depannya. Dalam situasi ini, penulis pesan
Hari Tari Dunia 2014 ini merasa tergerak untuk menolong mereka memberi semangat
hidup. Akhirnya jagoan hip-hop kelahiran 1973 itu mengajak ‘never stop dancing’ alias pokoke
joget! Selamat Hari Tari Dunia bagi
yang merayakannya.
*****