KEBANGKITAN AKTOR DAN KEGAGAPAN SUTRADARA
Oleh Y.E. Marstyanto
Festival Monolog 2008 telah berlangsung di Teater Kecil ISI
Festival Monolog 2008 ini adalah sebuah program kelanjutan dari kegiatan workshop tata cahaya yang diselenggarakan UPT Ajang Gelar ISI Surakarta yang juga diikuti pelajar SLTA beberapa waktu sebelumnya. Intinya, kegiatan tersebutadalah sebuah upaya ISI Surakarta membangun citranya di kalangan pelajar SLTA untuk selanjutnya mendorong minat mereka menempuh pendidikan di lembaga pendidikan seni tersebut. Meskipun di satu sisi, kegiatan ini juga sangat penting bagi para siswa SLTA yang bergelut di dunia seni peran. Mereka akan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang panggung dan unsur-unsur di dalamnya. Di mana aksi monolog mereka bertemu dengan ruang pertunjukan representatif, yaitu Teater Kecil ISI Surakarta.
Para peserta hadir dari berbagai SMU dan SMK yang ada di Karangpandan-Karanganyar, Wonogiri, dan
Festival Monolog yang baru pertama kali diadakan ini juga merupakan wadah kebangkitan bagi aktor muda (SLTA) di Surakarta dan sekitarnya. Tetapi tidak demikian di wilayah penyutradaraan. Sebab dari ke-11 garapan monolog yang ditampilkan hampir semuanya begitu kuat menyiratkan dominasi sutradara (pelatihnya). Sebagai contoh bagaimana sering terasa aktor di atas panggung sebenarnya masih berjarak dengan naskah yang dimainkannya. Hal ini juga sebenarnya adalah persoalan pemilihan naskah yang pasti ditentukan oleh sang sutradara. Misalnya pada lakon Topeng-Topeng karya Rachman Sabur yang dimainkan BRA Isabela Ratu. Wakil SMUN 3 Surakarta ini tampak sedikit kesulitan memahami kalimat-kalimat dalam naskah. Makna-makna filososfis dan bersayap dalam naskah terlalu datar disampaikan baik lewat dialog maupun acting. Hal ini bisa saja terjadi karena sang sutradara Eko Wiyanto sendiri juga belum tuntas memahami naskah tersebut. Hal serupa juga terjadi pada penampilan Ririn Rasputin yang mewakili SMK Sahid Surakarta. Dia tampil membawakan lakon berjudul Wajah karya dan sutradara Santosa, S. Pd. Meskipun naskah ini merupakan karya pelatih dan sutradaranya sendiri tapi agaknya juga belum mampu diungkapkan dengan baik oleh Ririn. Meskipun di satu sisi, gagasan naskah ini juga mash lemah, Naskah ini tidak menghadirkan tokoh darah daging, tetapi semacam tokoh menyampaikan berbagai pertanyaan tentang wajahku, wajahmu, dan wajah kita. Karakter tokoh cukup sulit diindentifikasi dalam naskah ini. Apalagi ketika naskah ini membicarakan “wajah” sang sutradara memilih make up wajah dan ilustrasi musik bernuansa Jepang. Apa hubungannya?
Persoalan dalam naskah memang menjadi hal paling kentara dalam festival ini. Sebab wilayah basic itulah yang akan melandasi keseluruhan bentuk pementasan. Termasuk juga masalah adaptasi naskah seperti yang ditampilkan Fairus Salicha Khairunisa yang memainkan naskah Penangkapan Sukra karya Gunawan Muhammad. Wakil dari SMUN 2 Surakarta ini sebenarnya adalah sosok aktor perempuan yang bagus secara teknis, baik vokal maupun gerak tubuh. Tapi Drs. Sriyono, sang sutradara, sekedar mencasting dia sebagai Sukra, tokoh pemuda lugu nan tampan dan rupawan dalam naskah itu. Persoalan bahwa sang aktor adalah perempuan dan tokoh dalam naskah adalah laki-laki, kurang serius dipikirkan sang sutradara. Sehingga sang tokoh pembela kebenaran dan keadilan dalam cerita itu sangat membingungkan jenis kelaminnya. Seandainya saja Penangkapan Sukro diadaptasi sedemikian rupa untuk pemain sekualitas Fairus. Demikian pula sutradara Yustinus Popo ketika memilih lakon Aku Pasti Pergi (adaptasi naskah Merdeka Sakit karya Hanindawan) telah gagal menempatkan aktornya bermain maksimal di atas panggung. Merdeka Sakit karya Hanindawan bercerita tentang tokoh bernama Merdeka yang “disakitkan” oleh seluruh anggota keluarganya. Kemudian dia memutuskan untuk pergi dari “rumahnya.” Sebuah naskah yang berbicara tentang sesuatu yang besar lewat sebuah lingkup keluarga. Aku Pasti Pergi mencoba memfokuskan diri pada sosok Merdeka yang memutuskan pergi dari rumah. Tapi adaptasi ini hanya sekedar menjadi sebuah naskah yang dipotong-potong untuk mengambil bagian-bagian yang dianggap perlu.
Sebagian naskah yang dibawakan para peserta adalah naskah-naskah karya penulis dan dramawan senior. Misalnya wakil Teater Biroe SMU Yosef Surakarta, SMUN 2 Surakarta, dan SMUN Karangpandan menggarap naskah Blok karya Putu Wijaya; wakil SMUN 3 membawakan naskah Aeng karya Putu Wijaya; Teater Bungkus SMUN 2 Wonogiri menggarap naskah Bersamadi karya penulis Jepang tidak dikenal abad ke-15. Dari antara 11 karya yang ditampilkan dalam festival tersebut, hanya sebanyak 3 naskah tulisan sutradara maupun pelatihnya sendiri. Karya-karya tersebut adalah Wajah karya Santosa, S. Pd (SMK Sahid Surakarta), Bayang-bayang Wayang yang dimainkan sendiri oleh penulisnya, Kusnanto Riwus Ginanjar yang mewakili SMU MTA Surakarta; dan Srintil karya Pardiatmoko, S. Pd (SMUN 2 Wonogiri).
Festival Monolog 2008 juga ajang yang menarik untuk menyaksikan kemampuan aktor muda. Puti Iramasani cukup lepas memainkan perannya dalam lakon Aeng karya Putu Wijaya. Siswi yang mewakili Studi Teater SMUN 3 Surakarta ini membuka permainannya dengan tergolek di atas meja yang disorot lampu spot. Dari
Pada akhirnya Festival Monolog 2008 memutuskan tiga penampil terbaik (begitulah keputusan panitia untuk menyebut tiga aktor pemenang tanpa peringkat). Mereka adalah Puti Irana Sani (Studi Teater SMUN 3 Surakarta); Mufied Fauziah (SMUN Karangpandan-Karanganyar); dan Wasti (Teater Bungkus, SMUN 2 Wonogiri). Para pemenang didominasi peserta dari luar
*) Penulis adalah alumni peserta Festival Teater SLTA se-Surakarta